Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

AL-SYATIBI DAN MAQASHID AL-SYARI’AH: PILAR KRITIS UNTUK KEBANGKITAN ISLAM RASIONAL DAN PROGRESIF

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T13:13:44Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Kebangkitan Islam sejati tidak akan lahir dari sekadar nostalgia masa lalu atau glorifikasi terhadap peradaban yang pernah berjaya. Ia justru berakar pada keberanian menafsir ulang nilai-nilai Islam secara kontekstual, rasional, dan humanistik. Di titik inilah relevansi pemikiran Imam al-Syatibi menjadi sangat krusial. Melalui kerangka maqashid al-syari’ah yang ia bangun, al-Syatibi menanamkan fondasi intelektual yang memungkinkan Islam berkembang sebagai agama nilai, bukan sekadar kumpulan norma.

Maqashid al-syari’ah adalah tawaran metodologis untuk memahami bahwa tujuan hukum Islam bukan terletak pada teks belaka, melainkan pada nilai dan maslahat di baliknya. Bagi al-Syatibi, setiap ketentuan hukum syar’i memiliki fungsi sosial dan spiritual yang bermuara pada pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-Syatibi, 2000). Pendekatan ini merupakan koreksi terhadap tradisi fikih klasik yang kerap terpaku pada literalitas, serta menolak inovasi dengan alasan tidak sesuai dengan mazhab.

Ketika umat Islam terus berkutat dengan dikotomi halal-haram yang kaku, peradaban lain bergerak maju dengan pendekatan yang menempatkan nilai, rasionalitas, dan kemanusiaan sebagai panglima. Tanpa disadari, stagnasi berpikir ini adalah hasil dari hilangnya maqashid dalam proses ijtihad. Al-Syatibi menawarkan alternatif ijtihad yang progresif, kontekstual, dan responsif terhadap realitas zaman (Opwis, 2007). Ia menolak pendekatan fiqh yang hanya bersandar pada teks tanpa mempertimbangkan maqashid, karena hal itu akan menjadikan hukum sebagai alat represi, bukan pembebasan.

Konsep maqashid membuka ruang dialog antara Islam dan modernitas. Hal ini menjadi penting karena umat Islam kini menghadapi tantangan besar seperti ketimpangan sosial, ekstremisme, krisis lingkungan, dan otoritarianisme politik, dan lain sebagainya. Dalam situasi ini, maqashid hadir sebagai etika normatif yang menuntun bagaimana agama seharusnya bersikap, bukan menghakimi, tetapi melindungi dan memberdayakan. Seperti yang dijelaskan oleh Auda (2008), maqashid bukan hanya instrumen hukum, tapi juga prinsip moral yang hidup, yang memberi makna baru terhadap fiqh dan tata kelola umat.

Dalam konteks pendidikan, maqashid dapat merevolusi kurikulum keislaman. Daripada menekankan hafalan dan loyalitas mazhab, pendekatan maqashid menekankan analisis kritis, relevansi sosial, dan integrasi antara teks dan realitas. Sebagaimana disoroti oleh Kamali (2006), hukum Islam harus dibaca dengan kacamata keadilan substantif, bukan formalitas hukum yang kering dan represif. Ini juga sejalan dengan gagasan Abdul Karim Soroush yang menyatakan agama bukanlah kumpulan dogma-dogma, tetapi medan ijtihad intelektual yang dinamis (Soroush, 2000).

Pemikiran al-Syatibi juga penting untuk menjawab tantangan politik. Ketika agama sering dijadikan alat justifikasi kekuasaan yang korup atau represif, maqashid memberi kita kerangka untuk menilai validitas kebijakan berdasarkan prinsip keadilan dan maslahat umum (Abu Zayd, 2006). Artinya, hukum syariah tidak bisa diterapkan hanya karena “sudah ada dalilnya”, tetapi karena ada alasan rasional dan etis yang membenarkannya dalam konteks sosial tertentu.

Pendekatan ini akan sangat membantu dalam mendobrak tembok-tembok konservatisme yang masih menjadi momok dalam wacana keislaman kontemporer. Kebangkitan Islam yang sejati adalah kebangkitan nalar, sementara maqashid adalah pilar utama untuk menegakkan kembali nalar tersebut dalam kerangka nilai-nilai Islam yang inklusif dan membebaskan.

Oleh karena itu, jika umat Islam ingin lepas dari krisis kejumudan dan bangkit sebagai peradaban besar kembali, maka warisan al-Syatibi harus dipelajari, didalami, dan dibumikan. Maqashid bukanlah pilihan alternatif, tetapi kebutuhan mendesak. Islam tidak akan pernah relevan dengan tantangan zaman jika hanya bergantung pada repetisi teks, tanpa interpretasi kontekstual yang berpijak pada nilai-nilai maqashid. Inilah saatnya kita kembali berpikir dengan keberanian, serta bertindak dengan nilai.

 

Sumber:

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2006). Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.

Opwis, F. (2007). Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory. Islamic Law and Society, 12(2), 182–223. https://doi.org/10.1163/156851905774342913

Soroush, A. K. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush. Oxford University Press.

Zaman, M. Q. (2002). The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change. Princeton University Press.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->