Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MELAMPAUI TEKSTUALISME: URGENSI MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM MEMBANGUN PERADABAN ISLAM KONTEMPORER

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T13:15:00Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Salah satu paradoks besar dalam sejarah intelektual Islam adalah ketika ajaran yang pada mulanya revolusioner berubah menjadi tumpukan doktrin yang membelenggu. Islam yang pada masa awalnya tampil sebagai kekuatan transformasi sosial, dalam banyak kasus kini justru menjelma menjadi sistem normatif yang beku dalam literalitas teks. Inilah penyakit tekstualisme: kecenderungan membekukan wahyu pada lapisan huruf tanpa menggali kedalaman maknanya. Di tengah tantangan global hari ini, maqashid al-syari’ah, sebagaimana digagas oleh Imam al-Syatibi, menawarkan pintu keluar dari krisis ini menuju bangunan peradaban Islam yang hidup dan manusiawi.

Dalam magnum opus-nya, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah, al-Syatibi menegaskan, bahwa seluruh syari’at diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (al-Syatibi, 2000). Prinsip-prinsip maqashid seperti perlindungan terhadap jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta bukan hanya norma normatif, tetapi fondasi etik bagi pembentukan sistem sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan yang adil dan beradab. Sayangnya, banyak komunitas muslim saat ini justru mengabaikan prinsip itu karena terlalu terpaku pada legalisme sempit yang miskin daya tafsir.

Tekstualisme yang membabi buta telah mengerdilkan syari’at menjadi sekadar pengulangan hukum-hukum cabang, tanpa mempertimbangkan konteks atau dampak sosialnya. Inilah yang dikritik oleh para pemikir kontemporer seperti Tariq Ramadan (2009), yang menyebut terlalu banyak “ulama” yang lebih sibuk menjadi juru tafsir masa lalu ketimbang pembawa solusi masa depan. Maqashid hadir sebagai antitesis terhadap pendekatan ini, karena ia mengajarkan hukum harus melayani tujuan, bukan membelenggu akal dan realitas.

Dalam perspektif ini, membangun peradaban Islam bukan hanya soal menggali kembali teks-teks klasik, tapi juga mengaktifkan nilai-nilai universal yang dikandung dalam syari’at. Maqashid al-syari’ah memungkinkan umat Islam berpikir kritis, merespons tantangan zaman seperti kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, atau pelanggaran hak asasi manusia dengan perspektif Islam yang progresif (Auda, 2008). Hal ini sejalan dengan pendekatan metodologis modern yang mengedepankan harmoni antara wahyu dan realitas, seperti yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman (1982) dalam gagasan double movement theory.

Para akademisi seperti Wael Hallaq (2004) dan Mohammad Hashim Kamali (2010) juga menegaskan orientasi maqashid harus dijadikan landasan utama dalam merumuskan kebijakan publik, bukan sekadar diskursus akademik. Misalnya, dalam tata kelola negara, maqashid mendorong adanya pemerintahan yang amanah, transparan, dan berpihak pada yang lemah—karena semua itu berakar pada perlindungan hak dasar manusia. Di sinilah maqashid berperan sebagai jembatan antara nilai-nilai keislaman dan prinsip demokrasi substantif.

Namun, menghidupkan maqashid sebagai kekuatan peradaban bukan tanpa tantangan. Banyak institusi keagamaan masih terjebak pada narasi lama, di mana kekuasaan dan agama saling mengunci. Pendekatan maqashid menuntut reformasi radikal, tidak hanya pada level fikih, tetapi juga pada budaya keilmuan dan sistem pendidikan. Kita butuh generasi ulama dan intelektual yang bukan hanya hafal kitab, tetapi juga sanggup menafsirkan realitas.

Maqashid al-syari’ah bukanlah produk stagnan sejarah, tetapi kerangka berpikir yang mampu menjawab tantangan modernitas. Inilah yang menjadikan pemikiran al-Syatibi sangat penting hari ini. Ia menawarkan jalan tengah antara otoritas teks dan dinamika realitas. Dengan membumikan maqashid secara sistemik, umat Islam tidak hanya bisa bangkit dari kejumudan, tetapi juga tampil sebagai kontributor aktif dalam membentuk masa depan dunia yang lebih adil, inklusif, dan beradab.

 

Sumber:

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Fadl, K. A. E. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hallaq, W. B. (2004). Authority, Continuity and Change in Islamic Law. Cambridge University Press.

Kamali, M. H. (2010). Shari‘ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->