Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

AL-SYATIBI DAN SPIRIT EMANSIPATORIS MAQASHID AL-SYARI’AH: MEMBEBASKAN ISLAM DARI TRADISI KAKU

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T14:00:46Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Islam sejatinya adalah agama yang datang membawa rahmat dan pembebasan. Ironisnya, Islam kini sering kali tampil dalam wajah yang rigid dan represif ketika dibaca dari balik tembok-tembok tradisi kaku. Banyak dari umat Islam yang menafsirkan ajaran agamanya semata-mata sebagai rangkaian aturan formal, bukan sebagai etika pembebasan. Di sinilah pemikiran Imam al-Syatibi menjadi penting untuk dibaca ulang. Dengan gagasan maqashid al-syari’ah, ia menawarkan Islam sebagai sistem nilai yang emansipatoris, bukan perangkat legalisme sempit yang membelenggu ruang berpikir umat.

Maqashid al-syari’ah adalah konsep yang menekankan hukum Islam memiliki tujuan-tujuan luhur, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam perspektif al-Syatibi, setiap hukum harus diarahkan untuk mewujudkan maslahat manusia. Hukum tidak boleh lepas dari konteks sosial dan tujuan moralnya (al-Syatibi, 2000). Gagasan ini bukan sekadar kerangka teknis dalam usul fikih, tetapi sekaligus kritik terhadap pendekatan tekstualis dan formalistik yang cenderung menafsir agama hanya berdasarkan dalil-dalil literal.

Umat Islam saat ini dihadapkan pada realitas kemunduran dalam banyak aspek—dari dunia pendidikan, ekonomi, hingga relasi sosial yang konservatif. Sering kali, kemunduran ini diperparah oleh legitimasi keagamaan yang justru menguatkan status quo. Fatwa-fatwa yang mendiskriminasi perempuan, mengekang kebebasan berpendapat, atau menolak pembaruan sosial misalnya, justru berakar dari pembacaan fikih yang mengabaikan maqashid (Abou El Fadl, 2001). Dalam situasi ini, pemikiran al-Syatibi dapat dibaca sebagai konter narasi terhadap narasi agama yang telah kehilangan dimensi pembebasan dan kemanusiaannya.

Spirit emansipatoris dari maqashid tidak hanya terlihat dari substansi ajarannya, tetapi juga dari metode berpikir yang ditawarkan. Al-Syatibi mengajak umat untuk tidak terjebak pada teks, tetapi menggali makna yang lebih luas dari teks tersebut. Ijtihad, bagi al-Syatibi harus mempertimbangkan realitas sosial, adat setempat, dan perubahan zaman (Kamali, 2006). Hal ini membuka ruang besar bagi pembacaan Islam yang lebih progresif dan solutif terhadap persoalan kontemporer, seperti keadilan sosial, pluralitas, dan kesetaraan gender.

Para pemikir Islam modern seperti Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlur Rahman, dalam banyak hal mewarisi semangat ini. Mereka menjadikan maqashid sebagai dasar untuk melakukan rethinking terhadap tradisi yang telah menjadi beku (Abu Zayd, 2006; Rahman, 1982). Maqashid, dalam konteks ini, bukan hanya alat hukum, tetapi sarana untuk membebaskan umat dari otoritarianisme intelektual dan menjadikan Islam lebih relevan dengan tuntutan zaman.

Bahkan dalam bidang politik, maqashid menjadi penting untuk memastikan syari’ah tidak dijadikan alat legitimasi kekuasaan, melainkan sebagai dasar etis untuk menegakkan keadilan dan kebebasan sipil. Dalam pandangan Auda (2008), maqashid menolak semua bentuk tirani, karena tujuan utamanya menjamin keberlangsungan hidup dan kemaslahatan manusia. Inilah yang membuat maqashid sangat relevan dalam membangun negara hukum yang berkeadaban.

Meski begitu, tantangan yang ditimbulkannya cukup besar. Banyak lembaga keislaman yang masih memandang maqashid dengan curiga, menganggapnya sebagai upaya liberalisasi agama. Padahal, maqashid justru akar dari syari’at itu sendiri. Menolak maqashid sama halnya mengingkari esensi Islam sebagai agama yang hidup, terbuka, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Jika al-Syatibi hidup di zaman ini, ia pasti tidak diam melihat syari’at dikerdilkan menjadi alat kekuasaan atau instrumen ketertiban belaka.

Kini, seruan kembali ke pemikiran al-Syatibi adalah seruan untuk membebaskan Islam dari kubangan tradisi yang tidak lagi relevan. Maqashid adalah cahaya yang menuntun umat keluar dari kegelapan kebekuan, dan masuk ke era Islam yang rasional, beradab, dan berkeadilan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar hafalan hukum; kita butuh keberanian berpikir, berijtihad, dan membebaskan agama dari penyempitan makna. Itulah jalan maqashid, warisan besar al-Syatibi yang tidak boleh dilupakan.

 

Sumber:

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2006). Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism. Cambridge University Press.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->