Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Salah satu tantangan terbesar umat Islam hari ini bukanlah kekurangan sumber daya atau kekuatan politik, melainkan cara berpikir yang terjebak dalam lingkaran dogmatisme. Wacana keislaman yang semestinya menjadi ruang eksplorasi makna dan kebijaksanaan justru dibanjiri oleh narasi yang kaku, biner, dan kadang antiintelektual. Dalam kerangka inilah, penting untuk menyegarkan kembali gagasan maqashid al-syari’ah—sebuah konsep klasik namun progresif yang dapat menggeser Islam dari dogma menuju hikmah.
Imam al-Syatibi meletakkan dasar maqashid al-syari’ah sebagai pilar utama dalam memahami dan menerapkan syari’at. Menurutnya, tujuan hukum Islam adalah untuk menjaga lima hal mendasar: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-Syatibi, 2000). Prinsip ini bukan hanya kumpulan abstraksi normatif, melainkan fondasi etis untuk membentuk masyarakat adil dan beradab. Masalahnya, dalam praktik kontemporer, maqashid justru sering dikesampingkan, digantikan oleh kecenderungan literalisme dan loyalitas buta terhadap pendapat lama.
Ketika hukum dipisahkan dari maqashid, maka yang lahir adalah aturan tanpa ruh. Banyak fatwa dan kebijakan yang terkesan Islami secara formal, tapi mengabaikan keadilan substantif. Pelarangan terhadap perempuan untuk mengakses pendidikan hingga penolakan terhadap kebebasan berpikir, semuanya didasarkan pada pendekatan tekstual sempit yang melupakan hikmah dan maslahat. Dalam konteks inilah pemikiran Jasser Auda (2008) menjadi relevan: maqashid tidak sekadar kerangka fikih, tetapi lensa moral yang menghidupkan kembali dimensi spiritual dan sosial.
Di tengah kemunduran nalar umat, maqashid dapat menjadi jembatan antara teks dan konteks. Ia mengajarkan Islam bukan sekadar mengikuti dalil, tetapi memahami tujuan ilahiah di balik dalil tersebut. Fazlur Rahman (1982) menyebut pendekatan ini sebagai double movement, yaitu gerakan bolak-balik antara teks dan realitas, sehingga hukum Islam tidak ketinggalan zaman. Dengan kata lain, maqashid memungkinkan ijtihad tidak tercerabut dari realitas hidup manusia.
Hal ini sejalan pula dengan pandangan Wael Hallaq (2004), yang menyoroti stagnasi hukum Islam akibat pendekatan mazhabistik yang defensif. Menurutnya, pendekatan maqashid membuka ruang kritis bagi reformasi hukum Islam, karena hukum tidak lagi dilihat sebagai instrumen kekuasaan, tetapi sebagai ekspresi nilai-nilai etik yang membebaskan. Dengan spirit ini, Islam dapat tampil sebagai kekuatan moral yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memberdayakan.
Dalam praktiknya, maqashid dapat digunakan untuk mereformasi berbagai bidang strategis. Di sektor pendidikan, pendekatan ini mendorong pengembangan kurikulum yang menyeimbangkan antara spiritualitas dan rasionalitas. Dalam bidang hukum, maqashid menjadi alat ukur keadilan yang menjamin perlindungan terhadap minoritas dan kelompok rentan. Dalam ekonomi, maqashid mendorong tata kelola keuangan yang menjunjung keadilan distributif dan menghindari segala aktivitas yang mengarah pada perilaku eksploitatif (Kamali, 2011).
Meski begitu, revitalisasi maqashid bukan tugas yang mudah. Banyak kalangan konservatif yang menuduh pendekatan ini sebagai upaya liberalisasi syari’at. Padahal, seperti ditegaskan oleh Abou El Fadl (2001), maqashid adalah saripati syari’at itu sendiri. Ia bukan modernisasi yang menanggalkan tradisi, melainkan penyegaran yang mengembalikan Islam kepada esensinya: rahmatan lil ‘alamin.
Untuk itu, kita membutuhkan generasi ulama dan intelektual yang tidak hanya fasih dalam dalil, tetapi juga peka terhadap realitas umat. Maqashid harus diajarkan bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai cara berpikir. Kita butuh institusi pendidikan yang menanamkan maqashid sebagai orientasi etik, bukan sekadar hafalan fiqhiyah. Kita butuh dakwah yang tidak hanya memerintah, tapi juga mencerahkan.
Dari dogma menuju hikmah adalah proses panjang yang menuntut keberanian intelektual dan keikhlasan spiritual. Selama maqashid dijadikan titik tolak, selama itu juga agama tidak lagi menjadi beban, melainkan jalan kebijaksanaan. Inilah warisan besar Imam al-Syatibi—bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi kemanusiaan.
Sumber:
Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.
Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.
al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Hallaq, W. B. (2004). Authority, Continuity and Change in Islamic Law. Cambridge University Press.
Kamali, M. H. (2011). The Middle Path of Moderation in Islam: The Qurʼanic Principle of Wasatiyyah. Oxford University Press.