MANA HEBAT ANTARA ULAMA’ SALAF DAN ULAMA’ KONTEMPORER?

Pengalaman menarik pernah saya alami ketika mengisi sebuah kajian di salah satu komunitas filsafat di Surabaya, Lemah Abang Discourse. Para anggota begitu antusias duduk melingkar, dengan kondisi "kepala diputar". Di sela-sela pembahasan materi, seorang peserta mengangkat tangan, lalu dengan nada yakin bertanya, “Kak, izin bertanya: bukankah ulama’ Salaf jauh lebih hebat dari ulama’ Khalaf (kontemporer)?”
Pertanyaan itu membuat suasana hening sejenak. Beberapa jamaah tampak mengangguk setuju, seakan-akan pendapat itu sudah menjadi kebenaran yang mapan. Saya tersenyum, menatap hadirin, lalu menjawab dengan tenang, “Tidak juga. Keduanya sama-sama hebatnya.”
Saya melanjutkan penjelasan, bahwa setiap generasi ulama memiliki keunggulan dan kekhasannya. Ulama’ Salaf, yakni mereka yang hidup di tiga abad pertama Hijriah, adalah generasi emas yang menjadi sumber otoritatif dalam memahami Al-Qur’an dan al-Sunnah. Keilmuan mereka murni, bersumber langsung dari para sahabat dan tabi’in, sehingga otentisitas sanad dan kekuatan hafalan mereka tidak tertandingi. Namun, ulama’ Khalaf atau ulama’ kontemporer juga memiliki keunggulan yang patut dihargai, terutama dalam kemampuan mereka mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum secara sinergis.
Dalam bidang fikih, misalnya, pendekatan ulama’ Khalaf sering kali lebih canggih dan komprehensif dibandingkan ulama’ Salaf. Mereka tidak hanya mengandalkan dimensi qauli (tekstual) dan manhaji (metodologis) sebagaimana yang dominan pada masa Salaf, tetapi juga menambahkan dimensi maqashidi (tujuan hukum), sains, dan filsafat. Integrasi ini membuat proses istinbat hukum menjadi lebih multidimensional, sehingga hukum yang dihasilkan lebih segar dan relevan dengan konteks kekinian, lebih terukur, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun syar’i.
Sebagai contoh, dalam membahas hukum transplantasi organ, ulama’ Salaf tentu belum memiliki perangkat analisis medis dan bioetika modern yang berkembang saat ini. Mereka hanya bisa berpegang pada nash yang ada dan qiyas sederhana. Sementara ulama’ kontemporer dapat memadukan dalil-dalil syar’i dengan temuan ilmu kedokteran, etika medis, bahkan hukum internasional. Hasilnya, fatwa yang diberikan menjadi lebih menyentuh aspek kemaslahatan nyata bagi umat. Dengan begini, menjadi jelas, bahwa segi metodologi, ulama’ Khalaf memiliki kecanggihan yang berbeda dan lebih relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Meski begitu, saya tegaskan kepada para anggota kajian, bahwa kecanggihan metodologi ulama’ Khalaf tidak mungkin lahir tanpa pondasi kokoh yang diwariskan ulama’ Salaf. Justru kemajuan ilmu dan pendekatan yang dimiliki ulama’ kontemporer merupakan kelanjutan dari karya agung para pendahulu mereka. Kitab-kitab induk seperti Al-Umm karya Imam Syafi’i, Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, atau Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Bukhari menjadi rujukan utama yang tidak tergantikan. Bahkan, seluruh perangkat ijtihad modern tetap berakar pada kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ulama’ awal.
Dalam kajian tersebut, saya juga mengingatkan, bahwa membandingkan kehebatan ulama’ Salaf dan Khalaf secara hitam-putih adalah keliru. Itu sama saja seperti membandingkan arsitek yang merancang bangunan dengan insinyur modern yang memperkuat dan memperluasnya. Padahal, keduanya sama-sama berperan penting, saling melengkapi, dan tak bisa dipisahkan.
Dari aspek maqashid asy-syariah (tujuan syariat), ulama’ kontemporer memang memiliki keunggulan dalam mengukur kemaslahatan secara lebih terstruktur. Misalnya, mereka menggunakan metode tahqiq al-manath (identifikasi realitas) dengan bantuan riset sosial, statistik, dan data empiris. Hal ini memungkinkan mereka memastikan fatwa atau kebijakan yang dihasilkan benar-benar menyentuh kebutuhan umat dan tidak terjebak dalam kesimpulan yang kaku.
Tentu saja, keunggulan ini tidak berarti menafikan kemuliaan ulama’ Salaf. Keikhlasan, kezuhudan, dan kekuatan hafalan mereka adalah teladan yang sulit disaingi. Banyak ulama’ Salaf yang berjalan kaki berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan satu hadis, sebuah pengorbanan yang mungkin jarang dilakukan di era modern yang serba cepat.
Akhirnya, saya menutup penjelasan dengan sebuah refleksi: MENGAGUNGKAN ULAMA’ SALAF ADALAH WAJAR, MENGAPRESIASI ULAMA’ KHALAF ADALAH KEHARUSAN. KARENA KEMAJUAN UMAT TIDAK AKAN LAHIR DARI SIKAP MENGIDOLAKAN MASA LALU SAMBIL MEREMEHKAN MASA KINI. UMAT YANG CERDAS ADALAH UMAT YANG MAMPU MENGAMBIL WARISAN INTELEKTUAL SALAF, LALU MENGEMBANGKANNYA MELALUI INOVASI DAN PEMIKIRAN KRITIS KHALAF.
Para anggota komunitas tampak mengangguk, sebagian tersenyum, mungkin karena mereka menemukan keseimbangan cara pandang baru. Saya pun melanjutkan kajian dengan keyakinan, MENGHARGAI SEMUA GENERASI ULAMA ADALAH JALAN TERBAIK UNTUK MENJAGA KESINAMBUNGAN ILMU, IMAN, DAN AMAL DALAM PERADABAN ISLAM.
Previous Post Next Post

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال