Dalam kehidupan masyarakat Muslim, istilah barokah begitu akrab di telinga. Ia disebut dalam doa, diperjuangkan dalam usaha, dan dijadikan harapan dalam relasi sosial dan keluarga. Meski sering diucapkan, konsep barokah justru kerap disalahpahami. Banyak yang menganggap barokah identik dengan kekayaan, kesuksesan duniawi, atau kemudahan hidup semata. Padahal, dalam perspektif Islam, barokah merupakan konsep Ilahiyah yang jauh lebih luas, dalam, dan bersifat spiritual.
Secara etimologis, barokah berasal dari kata Arab baaraka, yang berarti “bertambah”, “berkelanjutan”, atau “turunnya kebaikan dari atas”. Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, barokah adalah “tsubut al-khair al-ilahi fi syai’”—yakni menetapnya kebaikan dari Allah dalam sesuatu. Maka, barokah bukan semata-mata soal jumlah, tapi lebih kepada keberlanjutan manfaat dan kebaikan yang hadir dari sesuatu itu. Seseorang bisa saja memiliki harta sedikit, namun penuh manfaat, mencukupi kebutuhannya, dan membawa ketenteraman. Inilah yang disebut hidup penuh berkah.
Al-Qur’an berulang kali menyinggung
barokah dalam beragam konteks. Dalam QS. Al-A’raf ayat 96, Allah menegaskan, “Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan
melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi...” (Al-Qur’an,
7:96). Ini menunjukkan, syarat utama turunnya barokah adalah iman dan
takwa, bukan kekayaan, pangkat, atau popularitas.
Sayangnya, pemahaman masyarakat kerap
menyimpang. Salah satu kesalahpahaman paling umum adalah menyamakan barokah
dengan kekayaan atau kemewahan. Dalam narasi populer, orang kaya yang sukses
bisnisnya seringkali disebut “penuh berkah”, seolah-olah barokah diukur dengan
saldo rekening atau luas rumah. Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri adalah pribadi
yang hidup sangat sederhana, namun seluruh hidupnya dilimpahi berkah. Artinya,
barokah tidak berkorelasi langsung dengan kelimpahan materi (Demirel &
Sahib, 2015).
Kesalahpahaman lain yang tak kalah
serius adalah meyakini barokah bisa dibeli atau ditransaksikan.
Praktik-praktik seperti “mahar barokah”, membeli air berkah, atau memberi
sedekah khusus kepada tokoh agama demi mendapatkan keberkahan, adalah contoh
penyimpangan dari makna sejati barokah. Dalam Islam, barokah adalah anugerah
Allah yang tak bisa diperdagangkan. Ia hanya hadir melalui ketaatan, kejujuran,
dan keikhlasan (Bakar, Zamziba, & Entri, 2024).
Sebagian masyarakat juga menganggap barokah melekat pada orang atau tempat tertentu secara absolut.
Misalnya, meyakini keberkahan hanya bisa diperoleh dari tokoh tertentu,
atau dengan mengunjungi makam “keramat”. Sementara itu, Islam sendiri
menekankan barokah datang dari Allah, bukan dari zat seseorang atau
lokasi tertentu. Rasulullah ﷺ melarang umatnya menjadikan kuburannya
sebagai tempat perayaan (HR. Abu Dawud). Ini dimaksudkan, tidak lain sebagai bentuk pencegahan terhadap
penyimpangan.
Untuk memahami barokah secara lebih
utuh, perlu juga dilihat faktor-faktor yang mendatangkannya. Al-Qur’an dan
hadis menunjukkan keimanan, ketakwaan, kejujuran dalam berdagang (HR.
Bukhari), serta menyambung tali silaturahmi (HR. Bukhari dan Muslim), adalah
beberapa pemicu datangnya keberkahan. Dalam tradisi pesantren, praktik
khidmah—pengabdian santri kepada guru—juga dianggap sebagai jalan spiritual untuk
membuka pintu barokah (Akbar, 2025).
Lalu, bagaimana mengukur barokah?
Meski bersifat spiritual, barokah dapat dikenali lewat sejumlah indikator, di antaranya seperti: hidup yang tenang meski sederhana, anak-anak yang saleh, ilmu yang bermanfaat,
waktu yang produktif, atau usaha kecil yang berkembang dan membawa maslahat.
Jadi, barokah adalah kualitas ruhani yang berdampak nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan oleh Von Denffer (1976), barokah dalam
tradisi Muslim bukan sekadar kepercayaan populer, melainkan nilai moral dan
sosial yang mengakar kuat dalam praksis Islam.
Pada akhirnya, memahami barokah
secara benar akan membawa umat pada kehidupan yang lebih ikhlas, realistis, dan
bertanggung jawab. Barokah bukanlah hasil dari simbol-simbol atau transaksi
spiritual, tapi buah dari iman yang tulus, amal yang ikhlas, dan relasi yang
jujur dengan Allah dan sesama.
Sumber:
Akbar, I. A. (2025). Multiplying
Barakah to Waliullah: The Quranic Manifestation in a Sociological Context
within the Tarekat Community in East Java, Indonesia. Retrieved from
https://majournal.my/index.php/maj/article/view/230
Bakar, B. A., Zamziba, M. N. F.,
& Entri, M. S. (2024). The Misunderstanding of Islam Religion (Perselisihan
Faham Tentang Agama Islam). https://www.researchgate.net/publication/392073079
Demirel, S., & Sahib, H. B.
(2015). Concept of Barakah in Qur’ān and Sunnah: Towards its realization in
modern discourse. https://dergipark.org.tr/tr/doi/10.16947/fsmiad.24408
Von Denffer, D. (1976). Baraka as
basic concept of Muslim popular belief. https://www.jstor.org/stable/20847004
Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah
Al-A’raf: Ayat 96.
Hadis-hadis sahih dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Dawud.