MENELUSURI JEJAK BAROKAH: DIMENSI MAKNA, SUMBER, DAN TANDA-TANDANYA DALAM iSLAM

Dalam kehidupan umat Islam, kata “barokah” sangat sering diucapkan, didoakan, bahkan dijadikan tujuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pernikahan, usaha, hingga ibadah. Namun di balik popularitas istilah ini, tidak semua memahami apa sejatinya makna barokah, dari mana datangnya, dan bagaimana tanda-tandanya hadir dalam kehidupan nyata. Akibatnya, muncul banyak kesalahpahaman yang menyebabkan umat terjebak dalam pemaknaan yang sempit, bahkan keliru secara teologis.

Secara linguistik, barokah berasal dari akar kata Arab baraka yang berarti menetap, berkembang, dan bertambah. Dalam kajian semantik Al-Qur’an, barokah merujuk pada kehadiran kebaikan Ilahi yang menetap dalam sesuatu sehingga membawa manfaat berkelanjutan, meskipun secara kuantitatif mungkin tampak terbatas. Barokah bukanlah kekayaan semata, melainkan keberlimpahan manfaat dari sesuatu yang mungkin secara kasat mata tampak kecil atau sedikit. Seperti seorang ibu yang memasak dengan bahan seadanya, tetapi cukup untuk seluruh keluarga dan tetap menyisakan kehangatan serta kebahagiaan. Di sinilah letak pentingnya membedakan barokah dari sekadar materi.

Al-Qur’an mengaitkan erat antara keberkahan dengan iman dan ketakwaan. Dalam Surah Al-A’raf ayat 96 disebutkan bahwa “sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi” (Al-Qur’an, 7:96). Ayat ini menegaskan bahwa barokah adalah buah dari kehidupan yang dijalani dalam ketundukan kepada Allah, bukan hasil dari upaya manipulatif atau komersialisasi amalan. Barokah bersifat transenden, tapi nyata dampaknya. Ia menata waktu, menyehatkan hati, menenangkan pikiran, dan memperluas manfaat dari amal.

Sumber-sumber keberkahan dalam Islam bisa ditelusuri dari banyak dimensi, mulai dari dimensi ibadah, etika, hingga sosial. Kejujuran dalam berdagang, misalnya, menjadi salah satu sebab turunnya keberkahan sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Apabila dua orang melakukan jual beli dan bersikap jujur serta menjelaskan keadaan barang dagangannya, maka jual beli mereka diberkahi” (HR. Bukhari). Dalam hal ini, kejujuran bukan hanya nilai etis, tapi menjadi jembatan spiritual antara kerja dan barokah. Selain itu, rasa syukur yang tulus atas nikmat sekecil apapun juga membuka jalan bagi datangnya keberkahan berikutnya. Allah berfirman dalam Surah Ibrahim ayat 7, “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…” (Al-Qur’an, 14:7).

Salah satu aspek yang sering terabaikan dalam perolehan barokah adalah khidmah, yakni pengabdian yang tulus kepada orang tua, guru, atau masyarakat. Dalam banyak tradisi keilmuan Islam klasik, termasuk di pesantren-pesantren Nusantara, khidmah diyakini sebagai pintu barokah yang tidak tergantikan. Pengabdian semacam ini bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi proses penyucian diri yang melatih keikhlasan, ketekunan, dan kesabaran. Penelitian Akbar (2025) tentang komunitas tarekat di Jawa Timur mengungkap bagaimana murid-murid yang menjalani khidmah dengan tulus mengalami perkembangan spiritual yang signifikan, yang mereka sebut sebagai futuhat atau pembukaan ruhani.

Meski barokah tidak kasat mata, keberadaannya bisa dikenali melalui tanda-tanda yang membedakannya dari sekadar kelimpahan duniawi. Barokah membuat waktu yang sempit terasa cukup, harta yang sedikit terasa mencukupi, keluarga sederhana menjadi sumber ketenangan, dan ilmu yang biasa-biasa saja menjadi manfaat yang luar biasa. Von Denffer (1976) menyebut barokah sebagai moral indicator dalam masyarakat Muslim—yakni parameter tak kasat mata untuk mengukur hubungan spiritual seseorang dengan Tuhannya. Artinya, ketika seseorang hidup dengan adil, jujur, dan penuh syukur, maka jejak-jejak keberkahan akan tampak dalam kehidupannya meski ia tak menyadarinya secara langsung.

Barokah juga tidak bersifat otomatis atau bisa diwariskan. Tidak semua yang tampak agamis, berada di sekitar tokoh agama, atau aktif dalam kegiatan ibadah secara otomatis mendapat barokah. Sebab, barokah sangat erat kaitannya dengan ketulusan niat dan kejujuran amal. Kesalahan besar jika seseorang mengira bahwa hanya karena hidup dekat dengan orang saleh atau berada di lingkungan religius, ia otomatis diberkahi. Sebaliknya, seseorang yang sederhana, tak dikenal, tetapi penuh integritas dan tawakal, bisa saja hidupnya jauh lebih diberkahi.

Masyarakat Muslim perlu mulai membumikan makna barokah dalam praktik kehidupan nyata. Bukan dengan memburu simbol-simbol keberkahan secara buta, tetapi dengan menata kembali relasi vertikal dengan Allah dan relasi horizontal dengan sesama. Dalam dunia yang dikejar oleh obsesi akan kuantitas dan kemudahan, konsep barokah adalah oase spiritual yang mengingatkan kita pada kualitas, keberlanjutan, dan kebermanfaatan. Barokah bukan hadiah untuk yang kuat atau kaya, tapi anugerah bagi yang taat, jujur, dan sabar.

📚 Daftar Pustaka (APA Style)

Akbar, I. A. (2025). Multiplying Barakah to Waliullah: The Quranic Manifestation in a Sociological Context within the Tarekat Community in East Java, Indonesia. Retrieved from https://majournal.my/index.php/maj/article/view/230

Demirel, S., & Sahib, H. B. (2015). Concept of Barakah in Qur’ān and Sunnah: Towards its realization in modern discourse. Retrieved from https://dergipark.org.tr/tr/doi/10.16947/fsmiad.24408

Mukhlas, A. A., Masulah, S., & Faradisy, A. R. (2024). Work Ethics In Review Of The Qur'an And Al-Hadist. Retrieved from http://jurnal.istaz.ac.id/index.php/josse/article/download/1537/464

Von Denffer, D. (1976). Baraka as basic concept of Muslim popular belief. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/20847004

Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Al-A’raf: Ayat 96; Surah Ibrahim: Ayat 7.

Hadis-hadis sahih dari Shahih Bukhari.

Previous Post Next Post

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال