BAROKAH DALAM ISLAM: RAHASIA NILAI SPIRITUAL YANG MELEKAT PADA HAL BERMANFAAT


Dalam kehidupan sehari-hari, banyak Muslim yang melafalkan doa agar sesuatu yang ia miliki atau lakukan menjadi “berkah”. Sebuah rumah yang berkah, pekerjaan yang berkah, ilmu yang berkah, atau bahkan waktu yang berkah. Namun, tidak sedikit dari mereka yang hanya menjadikan istilah “barokah” sebagai pengharapan verbal semata, tanpa pemahaman yang utuh terhadap substansi maknanya. Akibatnya, keberkahan seringkali dicari di tempat yang salah, dimaknai secara salah, bahkan dikaitkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.

Dalam Islam, barokah bukan sekadar hasil dari kepemilikan atau keberlimpahan. Barokah adalah nilai spiritual yang melekat pada hal-hal yang memberi manfaat berkelanjutan, baik secara duniawi maupun ukhrawi. Ia tidak bisa diukur dengan rumus akuntansi atau statistik, namun jejaknya bisa dikenali dari hadirnya ketenangan, kemanfaatan, dan keistiqamahan. Seperti seorang ayah yang penghasilannya sederhana, tetapi cukup untuk keluarga; seorang guru dengan murid sedikit, namun ilmunya tersebar luas; atau seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya diisi dengan rutinitas yang tampak sederhana, tapi menjadi pondasi utama bagi pendidikan dan kebahagiaan keluarga.

Barokah berasal dari kata baraka yang bermakna “menetap” dan “bertambah kebaikan”. Al-Qur’an menyebutkan banyak bentuk keberkahan—pada tempat (Al-Aqsha), pada waktu (bulan Ramadhan), pada orang (para nabi), hingga pada amal (perdagangan yang jujur). Semua ini menunjukkan barokah bukan entitas mistis, melainkan nilai spiritual yang disematkan Allah pada sesuatu, menjadikannya penuh manfaat bagi diri dan lingkungan. Allah berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaf:9). Ini menandakan berkah adalah bagian dari kasih sayang Allah yang konkret.

Sebaliknya, banyak masyarakat mengira barokah adalah milik orang-orang tertentu yang dianggap “memiliki karisma spiritual”, atau melekat pada benda dan tempat tertentu secara tetap dan mutlak. Tidak jarang orang merasa cukup dengan mengusap batu “keramat” atau meminta doa dari figur agama demi memperoleh berkah, padahal Islam tidak mengajarkan jalan pintas dalam memperoleh anugerah ilahiyah. Barokah bukan datang dari simbol, tetapi dari sikap dan amal. Demirel dan Sahib (2015) menjelaskan keberkahan adalah kebaikan yang ditetapkan Allah pada sesuatu karena kualitas internalnya—seperti kejujuran, ketakwaan, dan keikhlasan—bukan karena bentuk luar atau status sosial.

Fungsi utama barokah adalah menciptakan manfaat yang terus mengalir. Inilah yang membedakan antara harta yang berkah dan harta yang banyak. Yang pertama menenangkan, mencukupi, dan mendekatkan kepada Allah. Yang kedua bisa jadi menyesakkan, menimbulkan hasad, atau membawa jauh dari tujuan hidup yang hakiki. Faudzi (2018) menyebut barokah sebagai konsep yang membawa keseimbangan antara aspek spiritual dan sosial-ekonomi dalam masyarakat Muslim. Ia menjembatani relasi manusia dengan Tuhannya, sekaligus menghidupkan peran etis dalam kehidupan publik.

Bukan hanya pada harta, barokah juga melekat pada ilmu, amal, dan waktu. Ilmu yang berkah bukan sekadar yang banyak dikutip, tapi yang menjadikan pemiliknya semakin tawadhu dan memberi manfaat kepada banyak orang. Waktu yang berkah bukan hanya panjang, tetapi produktif, digunakan untuk hal-hal baik, dan tidak terasa sia-sia. Maka tak heran jika ulama klasik seperti Imam Nawawi atau Imam Ghazali mampu menghasilkan karya agung dalam usia yang relatif pendek, karena waktu mereka dipenuhi dengan keikhlasan dan keberkahan.

Namun, barokah memiliki syarat dan tidak turun sembarangan. Syukur, kejujuran, kerja keras yang halal, dan pengabdian yang tulus adalah pintu-pintu keberkahan yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memberkahi seorang hamba yang bila bekerja, ia bekerja dengan profesional dan jujur” (HR. Thabrani). Ini menunjukkan keberkahan sangat terikat dengan kualitas amal dan niat pelakunya. Dalam penelitian Mukhlas, Masulah, dan Faradisy (2024), etos kerja yang dilandasi nilai-nilai Qur’ani terbukti tidak hanya berdampak pada keberhasilan ekonomi, tetapi juga menghadirkan suasana kerja yang tenteram dan produktif.

Masyarakat Muslim perlu menyadari bahwa barokah adalah milik siapa pun yang memenuhi syaratnya, bukan milik eksklusif tokoh atau lembaga tertentu. Ia bukan jimat spiritual, tapi hasil dari kualitas ruhani dan sosial yang dijalani dengan konsisten. Dalam dunia modern yang terobsesi dengan angka, pencapaian, dan kecepatan, barokah adalah pelan tapi pasti, sedikit tapi cukup, sederhana tapi membahagiakan. Ia adalah rahasia Ilahi yang melekat pada hal-hal bermanfaat yang dilakukan dengan niat yang benar dan jalan yang bersih.

Referensi:

Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Qaf: Ayat 9.

Demirel, S., & Sahib, H. B. (2015). Concept of Barakah in Qur’ān and Sunnah: Towards its realization in modern discourse. https://dergipark.org.tr/tr/doi/10.16947/fsmiad.24408

Faudzi, M. H. M. (2018). Ideal Islamic Economy: An Introduction. https://journals.iium.edu.my/enmjournal/index.php/enmj/article/download/620/311

Mukhlas, A. A., Masulah, S., & Faradisy, A. R. (2024). Work Ethics In Review Of The Qur'an And Al-Hadist. http://jurnal.istaz.ac.id/index.php/josse/article/download/1537/464

Hadis sahih dari Musnad Thabrani. 

Previous Post Next Post

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال