Suatu sore di sebuah warung kopi sederhana, saya duduk berhadapan dengan seorang teman sejawat yang kini menjadi dosen Ilmu Politik di UIN Sunan Ampel Surabaya. Di sela hiruk-pikuk mahasiswa yang memenuhi ruangan, kami larut dalam diskusi tentang masa depan Indonesia. Sambil menyeruput kopi hitam yang mengepul di meja, ia berkata dengan penuh keyakinan, "kemajuan Indonesia akan dimulai dari perbaikan pemerintah dan negara". Sebuah pendapat yang logis dan tidak dapat dipungkiri, karena negara memang menjadi pengatur jalannya kehidupan bersama. Namun, saya menimpali dengan pandangan lain yang lahir dari perenungan panjang: “kemajuan Indonesia justru dimulai dari rekonstruksi cara keberagamaan kita.”
Ucapan ini tentu bukan semata-mata retorika kosong, melainkan bersandar pada fakta historis dan fakta teologis yang sama-sama kuat. Jika kita menengok ke sejarah, Islam yang lahir di Jazirah Arab lima belas abad silam merevolusi sebuah masyarakat yang terbelakang menjadi pusat peradaban dunia. Bangsa Arab yang sebelumnya identik dengan kejahiliahan, paganisme, kesukuan, dan keterbelakangan, tiba-tiba bangkit menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Lothrop Stoddard, dalam bukunya The New World of Islam, menegaskan daerah-daerah yang dikuasai umat Islam justru berkembang menjadi wilayah yang paling maju pada masanya. Di setiap daerah yang dikuasainya, umat Islam membangun rumah sakit, universitas, perpustakaan, dan fasilitas publik lain yang dapat diakses semua orang, tanpa memandang agama atau etnis. Keunikan lainnya adalah, umat Islam menghargai dan memuliakan kebijaksanaan kuno. Mereka mempelajari filsafat Yunani, kedokteran Persia, hingga astronomi India, lalu mengembangkannya, sehingga menjadi khazanah baru yang kelak diteruskan ke Eropa. Dari titik inilah kita melihat, rekonstruksi keberagamaan bukan hanya soal ibadah, melainkan motor penggerak lahirnya sebuah peradaban.
Di samping fakta historis, fakta teologis juga memperkuat tesis ini. Al-Qur’an berulang kali menekankan pentingnya ilmu, riset, dan penggunaan akal. Raghib al-Sirjani dalam Sumbangsih Peradaban Muslim Kepada Dunia mencatat, kata ilmu beserta turunannya muncul sebanyak 874 kali dalam al-Qur’an. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan ayat-ayat tentang akidah, ibadah, syariah, muamalah, bahkan akhlak sekalipun, yang jika digabung tidak lebih dari 500 ayat, sebagaimana dijelaskn oleh Mulyadhi Kartanegara yang dikutip oleh Jalaluddin Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ini menegaskan betapa Islam sejak awal menempatkan ilmu sebagai ruh keberagamaan. Belum lagi tujuan agama dalam maqashid al-syari‘ah yang menempatkan perlindungan akal sebagai bagian vital dan fundamental. Jasser Auda menjelaskan, apa pun yang menguatkan akal, seperti belajar, meneliti, atau membaca, adalah bentuk kemaslahatan yang tentunya didukung penuh oleh agama. Dengan kata lain, keberagamaan sejati bukanlah sekadar ritualisme, melainkan kekuatan spiritual yang melahirkan kemajuan dan membangun peradaban.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini adalah rumah bagi salah satu komunitas muslim terbesar di dunia. Sayangnya, kita masih sering menyaksikan keberagamaan yang hanya berhenti pada simbol-simbol formal, tanpa diikuti kesungguhan menumbuhkan nilai produktif bagi peradaban. Agama acapkali direduksi menjadi alat politik praktis yang justru memecah belah, alih-alih merekatkan. Padahal, keberagamaan yang sejati seharusnya menumbuhkan budaya membaca, tradisi meneliti, dan etos berinovasi, sembari menjaga nilai keadilan dan kemanusiaan. Jika umat Islam pada masa keemasan mampu menggabungkan iman dengan semangat keilmuan, sehingga melahirkan universitas dan perpustakaan besar di Baghdad, Kairo, dan Andalusia, mengapa umat Islam di Indonesia tidak bisa meneladani hal yang sama?
Kemajuan bangsa ini memang membutuhkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif, namun semua itu akan rapuh tanpa rekonstruksi paradigma keberagamaan. Keberagamaan yang sejati akan melahirkan masyarakat berakal sehat, beretika, dan berorientasi pada kemaslahatan dan kemajuan. Indonesia hari ini berada di persimpangan jalan, apakah kita akan terus larut dalam simbolisme sempit dan pertikaian identitas, atau berani menapaki jalan rekonstruksi keberagamaan yang mencerahkan? Jika fakta historis dan fakta teologis sudah sama-sama memberi bukti, maka jawaban seharusnya jelas, BETAPA AGAMA INI BERKOMITMEN TERHADAP KEMAJUAN DAN PEMBANGUNAN PERADABAN.
Dari sebuah obrolan sederhana di warung kopi itu, saya semakin yakin, kemajuan Indonesia bukanlah sekadar proyek politik atau pembangunan infrastruktur. Lebih dari itu, ia adalah proyek keberagamaan: bagaimana cara kita memahami agama, bagaimana agama mendorong kita berpikir, bekerja, dan berinovasi. Jika rekonstruksi keberagamaan ini benar-benar diwujudkan, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi negara besar secara geografis dan demografis, tetapi juga akan kembali menjadi pusat peradaban yang diperhitungkan dunia.