Islam bukanlah agama dogma yang bisanya hanya membungkam akal. Ia justru datang sebagai cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan kebodohan, termasuk dari ketergantungan mutlak pada otoritas yang kebenarannya masih samar-samar. Dalam Islam, berpikir adalah perintah, bukan pilihan. Allah berulang kali menyeru manusia untuk menggunakan akalnya, merenung, mempertimbangkan, dan mengambil pelajaran dari berbagai fenomena kehidupan. Seruan ini jauh lebih banyak daripada perintah untuk mengikuti manusia, termasuk tokoh agama. Maka, menjadi penting untuk ditegaskan, Islam menyuruh umatnya untuk berpikir, bukan mengekor pada elit agama secara membabi buta.
Al-Qur’an memberikan tempat yang sangat tinggi bagi akal. Kata kerja turunan dari akal ('aql), seperti ta‘qilun, ya‘qilun, dan la ya‘qilun, muncul lebih dari lima puluh kali. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Baqarah ayat 44, Allah berfirman, “Apakah kamu menyuruh manusia (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” Ayat ini tidak hanya menegur kaum Bani Israil yang inkonsisten, tetapi juga menegaskan berpikir adalah landasan etika dan keimanan (Al-Qaradawi, 1996).
Lebih jauh lagi, Islam mengecam keras sikap mengikuti pemimpin agama tanpa pertimbangan akal. Dalam Surah At-Taubah ayat 31, Allah menyebut kaum Nasrani dan Yahudi yang menjadikan ulama dan pendeta mereka sebagai “tuhan selain Allah”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud ayat ini bukan penyembahan secara literal, tetapi kepatuhan mutlak terhadap keputusan-keputusan tokoh agama mereka, meski bertentangan dengan wahyu (Ibnu Katsir, 2000). Pelajaran penting dari ini adalah, ketaatan kepada ulama tidak boleh membatalkan fungsi akal.
Tradisi Islam sendiri tidak menganggap ulama sebagai makhluk suci. Mereka adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Imam Malik pernah berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk makam Rasulullah (Al-Ghazali, 2005). Bahkan, Imam Syafi’i menegaskan, jika pendapatnya bertentangan dengan hadits sahih, maka pendapatnya harus ditinggalkan. Ini menunjukkan betapa para ulama besar pun sadar akan keterbatasan manusiawi mereka, dan tidak menginginkan pengikutnya bertaklid buta.
Dalam maqashid al-syari’ah, salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga akal. Al-Syatibi menempatkan hifz al-‘aql (perlindungan akal) sejajar dengan penjagaan agama, jiwa, harta, dan keturunan (Al-Syatibi, 2005). Artinya, syariat tidak hanya memfasilitasi akal, tapi juga memelihara dan menjaganya agar tetap hidup dan berfungsi. Mengikuti ulama seharusnya menjadi bagian dari proses menjaga akal ini, bukan menggantikannya. Ulama adalah pemandu, bukan pengganti akal. Mereka adalah media, bukan sumber kebenaran mutlak.
Masalah muncul ketika sebagian umat menjadikan perkataan ulama sebagai satu-satunya referensi, tanpa menyaring, tanpa bertanya, tanpa berpikir. Ini yang disebut taklid buta, dan inilah yang berbahaya. Taklid semacam ini bisa melahirkan kekakuan beragama, konflik mazhab, bahkan ekstremisme. Kasus-kasus kekerasan atas nama agama sering kali berpangkal dari penafsiran literal yang diambil tanpa verifikasi atau pertimbangan nalar. Padahal, jika fungsi berpikir dihidupkan, umat akan bisa memilah antara ajaran inti dan pendapat manusia, antara prinsip dan metode.
Lebih dari itu, terlalu bergantung pada otoritas agama juga bisa melumpuhkan tanggung jawab individu dalam beragama. Orang cenderung melemparkan dosa atau kesalahan kepada pemimpinnya, dan merasa cukup hanya dengan patuh tanpa paham. Padahal dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas dirinya. Tidak ada yang bisa menjadi penanggung dosa bagi orang lain. Firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Al-Qaradawi, 1996).
Tentu saja, ini bukan ajakan untuk meremehkan ulama. Peran mereka sangat penting dalam menyampaikan dan menjelaskan ajaran Islam. Namun, mengikuti ulama tidak boleh menggantikan aktivitas berpikir. Umat perlu belajar membangun relasi sehat dengan otoritas keagamaan—menghormati, tetapi tidak menuhankan. Ulama membantu membuka jalan kebenaran, tetapi mereka bukan penentu tunggal kebenaran. Kebenaran tetap harus diverifikasi dengan nalar dan hati nurani.
Islam tidak lahir di ruang hampa intelektual. Sejarah mencatat, kejayaan peradaban Islam dibangun di atas fondasi ilmu dan pemikiran. Para ulama dahulu tidak hanya menghafal, tapi juga menalar. Mereka menulis, berdiskusi, bahkan berbeda pendapat secara terbuka. Semua itu dimungkinkan karena akal diberi tempat yang layak. Maka, jika umat Islam hari ini ingin bangkit, kunci utamanya adalah menghidupkan kembali budaya berpikir. Bukan hanya mengutip, tetapi juga memahami. Bukan hanya mengikuti, tetapi juga menimbang dan merenungi. Islam menuntut keimanan yang sadar, bukan ketaatan yang pasif.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Jilid 1). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur'an al-Karim. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Syatibi. (2005). Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Kairo: Dar al-Ma'arif.
Ibnu Katsir. (2000). Tafsir al-Qur’an al-Azim. Beirut: Dar al-Fikr.