Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Friday, September 5, 2025

    JEJAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM MERUNTUHKAN HEGEMONI DAN TIRANI



    Kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam sejarah peradaban manusia tidak hanya dapat dipahami sebagai peristiwa spiritual, mengingat sepak terjang yang dilakukannya memprakarsai revolusi sosial yang mengguncang struktur kekuasaan mapan di Jazirah Arab. Risalah Islam yang beliau bawa tidak sebatas ajaran teologis yang menekankan keesaan Allah, tetapi juga pesan moral dan sosial yang membebaskan manusia dari cengkeraman hegemoni dan tirani. Mekah pada masa pra-Islam berada di bawah dominasi elit Quraisy yang menguasai ekonomi, politik, dan ritual keagamaan. Mereka memonopoli pengelolaan Ka‘bah, memelihara stratifikasi sosial yang kaku, serta menyingkirkan kelompok lemah seperti budak, perempuan, dan kaum miskin. Dalam konteks tersebut, seruan la ilaha illallah bukan sekadar kalimat iman, melainkan juga deklarasi politik yang menolak otoritas palsu berhala serta dominasi kaum elit yang menindas (Armstrong, 2006).

    Risalah Nabi Muhammad SAW membawa pesan kesetaraan yang meruntuhkan diskriminasi sosial. Dalam khutbah wada’, beliau menegaskan tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab maupun sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan (Ibn Hisham, 1997). Pernyataan tersebut merupakan koreksi tajam terhadap privilese etnis Quraisy yang selama berabad-abad menempatkan diri mereka sebagai kelompok superior. Prinsip kesetaraan yang ditegaskan Nabi Muhammad mengubah orientasi peradaban manusia, dengan menempatkan martabat individu sebagai dasar tatanan sosial.

    Prinsip keadilan yang terkandung dalam Al-Qur’an memperkuat arah perubahan sosial tersebut. Firman Allah, “Tegakkanlah keadilan, meskipun terhadap dirimu sendiri” (Qur’an 4:135, trans. Abdel Haleem, 2005), menegaskan hukum tidak boleh diperalat demi kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Pesan ini menjadi antitesis dari hukum jahiliyah yang bias kelas, di mana kelompok lemah sering dikorbankan untuk melindungi kepentingan elit. Oleh karena itu, risalah Nabi Muhammad SAW tidak hanya memuat aspek spiritual, tetapi juga dimensi sosial-politik yang menekankan keadilan universal (Esposito, 2010).

    Integritas moral Nabi tampak jelas dalam perjuangannya menghadapi tirani Quraisy. Meskipun dihadapkan pada intimidasi, boikot ekonomi, dan ancaman pembunuhan, beliau tidak pernah menukar prinsip tauhid dengan kompromi pragmatis. Ketika Quraisy menawarkan agar beliau menyembah berhala sekali saja dengan imbalan penghentian perlawanan, Nabi menolak dengan tegas. Penolakan tersebut kemudian diteguhkan dengan turunnya surah Al-Kafirun. Sikap ini menunjukkan perjuangan melawan tirani menuntut konsistensi prinsip, bukan kalkulasi politik sesaat (Nasr, 2012).

    Strategi Nabi juga bersifat konstruktif. Setelah hijrah ke Madinah, beliau merumuskan Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang menata relasi antar-komunitas berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Piagam tersebut membuktikan Nabi Muhammad bukan hanya menolak dominasi Quraisy, tetapi juga membangun kerangka koeksistensi yang menghormati pluralitas sosial. Dengan menjadikan Muslim, Yahudi, dan komunitas lain sebagai mitra dalam satu komunitas politik, Nabi menunjukkan komitmen terhadap model masyarakat multikultural yang progresif (Lecker, 2004).

    Refleksi atas jejak Nabi dalam meruntuhkan hegemoni dan tirani sangat relevan dengan konteks kontemporer. Dunia modern masih menyaksikan berbagai bentuk penindasan, mulai dari oligarki yang memusatkan kekuasaan pada segelintir orang, korupsi yang melemahkan keadilan sosial, diskriminasi berbasis ras dan agama, serta marginalisasi kelompok rentan. Dalam kondisi ini, teladan Nabi memberikan tiga pelajaran penting. Pertama, prinsip kesetaraan yang menolak diskriminasi dalam bentuk apa pun. Kedua, komitmen pada keadilan hukum yang imparsial, yang tidak tunduk pada kepentingan elit. Ketiga, keberanian moral untuk menghadapi tirani, meskipun harus mengorbankan kenyamanan atau keselamatan diri.

    Muhasabah atas teladan Nabi menuntut umat Islam untuk bertanya secara jujur, apakah benar-benar telah mewarisi misi beliau dalam membela kaum tertindas, atau justru secara sadar maupun tidak melanggengkan sistem yang tidak adil? Iman yang sejati harus diwujudkan dalam praksis sosial yang berpihak kepada kelompok lemah. Membela kaum miskin, perempuan yang termarjinalkan, dan komunitas rentan lainnya merupakan bagian integral dari keteladanan profetik. Dengan demikian, risalah Islam tidak boleh berhenti pada ritual semata, tetapi harus menjadi energi moral yang menumbuhkan masyarakat egaliter, adil, dan berkeadaban.

    Jejak Nabi Muhammad SAW dalam meruntuhkan hegemoni dan tirani membuktikan agama dapat menjadi kekuatan pembebas yang konkret. Beliau bukan hanya Rasul penyampai wahyu, tetapi juga pemimpin visioner yang berhasil mengubah wajah peradaban dunia. Refleksi atas jejak ini mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam pengagungan simbolik, melainkan meneladani semangat transformasi sosial secara substantif. Muhasabah terhadap teladan Nabi Muhammad SAW tidak hanya menghadirkan kesadaran, tetapi juga membangkitkan dorongan moral untuk terus melawan berbagai bentuk penindasan di era modern, sebagaimana beliau dahulu menghapus hegemoni dan tirani di tanah Arab.

    REFERENSI

    Abdel Haleem, M. A. S. (Trans.). (2005). The Qur’an. Oxford University Press.

    Armstrong, K. (2006). Muhammad: Prophet for our time. HarperCollins.

    Esposito, J. L. (2010). Islam: The straight path (4th ed.). Oxford University Press.

    Ibn Hisham. (1997). Al-Sirah al-Nabawiyyah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1955).

    Lecker, M. (2004). The “Constitution of Medina”: MuḼammad’s first legal document. Princeton Papers in Near Eastern Studies, 12, 13–32.

    Nasr, S. H. (2012). Islam in the modern world: Challenged by the West, threatened by fundamentalism, keeping faith with tradition. HarperOne.