Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu tradisi keagamaan yang telah mengakar dalam masyarakat Muslim. Dalam banyak kesempatan, perayaan ini diwarnai dengan pembacaan maulid, lantunan salawat, tausiyah, serta rangkaian ritual yang membangkitkan rasa cinta kepada Rasulullah. Akan tetapi, terdapat kecenderungan peringatan tersebut berhenti pada aspek seremonial semata, sehingga makna substansial yang seharusnya diinternalisasikan ke dalam kehidupan sosial justru tereduksi. Maulid tidak hanya merupakan momentum historis kelahiran Nabi, melainkan juga ruang refleksi kritis terhadap sejauh mana umat Islam meneladani ajaran dan nilai-nilai yang diperjuangkan Rasulullah dalam dimensi keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial.
Al-Qur’an menegaskan, Rasulullah merupakan figur teladan yang patut dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. Al-Ahzab [33]:21). Ayat ini menempatkan Maulid bukan sekadar sebagai ritual penghormatan, tetapi sebagai titik tolak muhasabah. Bertolak dari ayat ini, pertanyaan yang patut diajukan ialah, sejauh mana peringatan Maulid mampu menggerakkan umat Islam dari sekadar ekspresi emosional menuju perubahan sosial yang nyata?
Dalam sejarah kehidupannya, Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan konsistensi dalam menegakkan keadilan. Salah satu peristiwa penting yang menunjukkan hal ini adalah penegakan hukum terhadap seorang wanita dari kalangan elit Quraisy yang terbukti melakukan pencurian. Rasulullah dengan tegas menyatakan hukum harus ditegakkan tanpa memandang status sosial, bahkan jika pelanggar hukum tersebut adalah keluarganya sendiri (Majelis Ulama Indonesia [MUI], t.t.). Peristiwa tersebut menegaskan prinsip keadilan yang tidak diskriminatif sekaligus memberikan pelajaran bahwa keberpihakan Nabi berpijak pada nilai universal, bukan pada kepentingan kelompok tertentu.
Selain itu, Rasulullah juga memperlihatkan sikap humanis dan inklusif dalam berinteraksi dengan masyarakat. Kehadiran Islam di bawah kepemimpinannya menembus sekat-sekat kesukuan, kedaerahan, bahkan perbedaan agama. Prinsip rahmatan lil ‘alamin yang dibawa Rasulullah menjadi bukti bahwa misi Islam bersifat universal dan mengandung pesan kemanusiaan yang luas (NU Online, 2018; Wakil Presiden RI, 2020). Dengan demikian, memperingati Maulid seharusnya melahirkan kesadaran untuk menumbuhkan sikap toleran, anti-diskriminasi, dan empati terhadap seluruh umat manusia.
Dimensi sosial Maulid juga harus diwujudkan melalui aksi nyata yang menyentuh persoalan riil masyarakat. Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang penuh empati. Beliau menjenguk orang sakit, menolong kaum miskin, serta memperhatikan kaum marjinal yang sering diabaikan (Dompet Dhuafa, 2024). Jika perayaan Maulid hanya berfokus pada pembacaan teks dan perayaan simbolik tanpa disertai tindakan nyata yang berpihak pada kaum lemah, maka makna substansial dari Maulid tidak tercapai. Oleh karena itu, penguatan aksi sosial, seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat, bantuan kemanusiaan, dan pendidikan akhlak bagi generasi muda merupakan bentuk implementasi teladan Rasulullah yang sejati.
Transformasi dari seremonial menuju keberpihakan menuntut adanya kesadaran kolektif. Perayaan Maulid dapat dijadikan sarana konsolidasi moral sekaligus momentum aksi sosial. Kegiatan-kegiatan seperti santunan anak yatim, penyediaan layanan kesehatan gratis, atau program literasi keagamaan yang menekankan nilai integritas dan kejujuran merupakan contoh konkret bagaimana Maulid dihidupkan secara lebih bermakna (Wibowo, 2023). Dengan demikian, Maulid tidak lagi dipandang sekadar sebagai tradisi tahunan, tetapi juga sebagai instrumen perubahan sosial yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Pada akhirnya, Maulid seharusnya dipahami sebagai peristiwa spiritual sekaligus sosial. Ia menjadi ruang muhasabah bagi setiap Muslim untuk menilai sejauh mana kecintaan kepada Rasulullah telah diwujudkan dalam sikap hidup sehari-hari. Amin Ma'ruf, Mantan Wakil Presiden RI menekankan, Maulid dapat dijadikan momentum membangun peradaban moral dan menata ulang sistem sosial-ekonomi yang lebih adil. Pernyataan ini menegaskan peringatan Maulid memiliki relevansi strategis bagi upaya transformasi sosial dalam konteks kekinian.
Pada akhirnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW jangan hanya dicukupkan pada aspek ritual dan seremonial. Ia harus dihidupkan sebagai gerakan keberpihakan terhadap nilai-nilai luhur yang diajarkan Nabi, yakni keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial. Hanya dengan cara demikian, Maulid dapat memberikan kontribusi nyata dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban. Maulid bukan hanya peringatan masa lalu, melainkan juga kompas moral untuk menavigasi masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Dompet Dhuafa. (2024, 25 Agustus). Refleksi Maulid Nabi, menjadi insan yang memiliki moral empati sosial. Dompet Dhuafa Republika. https://www.dompetdhuafa.org/empati-sosial-teladan-rasul/
Majelis Ulama Indonesia. (t.t.). Refleksi Maulid Nabi: Rasulullah, teladan dalam menegakkan hukum yang adil. MUI. https://mui.or.id/baca/mui/refleksi-maulid-nabi-rasulullah-teladan-dalam-menegakkan-hukum-yang-adil
NU Online. (2018, 20 November). Maulid Nabi, momentum kebangkitan spirit kemanusiaan. NU Online. https://nu.or.id/nasional/maulid-nabi-momen-kebangkitan-spirit-kemanusiaan-nDyNi
Wakil Presiden RI. (2020, 29 Oktober). 5 pilar perubahan yang patut diteladani dari Rasulullah. Sekretariat Wakil Presiden RI. https://www.wapresri.go.id/5-pilar-perubahan-yang-patut-diteladani-dari-rasulullah/
Wibowo, D. R. (2023, 28 September). Peringatan Maulid Nabi momentum refleksi diri. KweeksNews. https://www.kweeksnews.com/posts/peringatan-maulid-nabi-momentum-refleksi-diri