Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Thursday, September 4, 2025

    MAULID NABI: KAYA SEREMONIAL, MISKIN SUBSTANSIAL

    Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi yang telah lama hidup dalam masyarakat Muslim, khususnya Indonesia. Ia dilaksanakan dengan penuh kemeriahan, mulai pengajian besar, pawai, lomba, hingga jamuan makanan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Akan tetapi, kemeriahan tersebut kerap menimbulkan pertanyaan mendasar, "apakah esensi peringatan Maulid benar-benar tercapai, atau justru hanya berhenti sebagai ritual tahunan yang kaya seremonial namun miskin substansi?" Pertanyaan ini penting diajukan, karena ukuran keberhasilan perayaan bukanlah pada megahnya panggung, melainkan pada kedalaman nilai reflektif dan spirit transformatif yang ditinggalkan dalam kehidupan umat.
    Fenomena dominasi seremonial atas substansial dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat menjadikan Maulid sebagai pesta rakyat. Tradisi ini sering kali menyerupai festival budaya, dengan hiburan dan konsumsi massal yang justru menggeser makna spiritualnya (Kompasiana, n.d.). Penelitian lain menegaskan, makna religius Maulid cenderung mengalami degradasi, sehingga lebih dipahami sebagai tontonan sosial ketimbang momen muhasabah (UIN Alauddin, n.d.). Pergeseran ini menimbulkan ironi, sebab esensi Maulid semestinya berfungsi sebagai instrumen untuk menghadirkan kembali teladan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan umat.
    Substansi peringatan Maulid harus dimaknai dalam beberapa lapisan. Pertama, dimensi akhlak. Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang menampilkan kejujuran, kesabaran, keadilan, dan kasih sayang dalam setiap aspek kehidupannya. Oleh karena itu, peringatan Maulid seharusnya menjadi ruang refleksi diri untuk meneladani sifat-sifat tersebut. Literatur klasik maupun kontemporer menekankan inti Maulid adalah upaya meningkatkan iman, ilmu, dan peradaban umat (Scribd, n.d.). Jika dimensi ini diabaikan, maka peringatan hanya menjadi hiasan tanpa makna mendalam.
    Kedua, dimensi sosial. Nabi bukan hanya teladan dalam ranah spiritual, tetapi juga figur yang aktif membela kaum marginal. Beliau memberikan perhatian pada budak, fakir miskin, perempuan, dan yatim piatu, serta mengoreksi tatanan sosial yang timpang. Al-Qur’an menegaskan kewajiban menegakkan keadilan meskipun terhadap diri sendiri atau kerabat dekat (Qur’an 4:135, trans. Abdel Haleem, 2004), serta mengecam mereka yang mengabaikan yatim dan enggan memberi makan orang miskin (Qur’an 107:1–3, trans. Abdel Haleem, 2004). Ajaran ini menunjukkan peringatan Maulid yang substansial tidak boleh abai terhadap realitas sosial, melainkan harus menumbuhkan keberpihakan pada mereka yang terpinggirkan.
    Ketiga, dimensi politik-moral. Dakwah Nabi sejak awal telah mendelegitimasi status quo Quraisy yang bertumpu pada privilese kabilah, praktik riba, dan dominasi simbolik atas Ka‘bah. Pesan tauhid yang dibawa Nabi tidak sekadar menyerang politeisme, tetapi juga merombak struktur ekonomi dan sosial yang timpang. Para sejarawan mencatat, perlawanan Quraisy terhadap Nabi lebih banyak bersifat politis dan ekonomis ketimbang semata-mata teologis (Watt, 1961). Hal ini menegaskan substansi Maulid harus menghidupkan kembali keberanian moral untuk menentang ketidakadilan yang terstruktur dalam masyarakat.
    Jejak Nabi dalam membangun Piagam Madinah juga memperlihatkan perayaan kelahiran beliau semestinya menginspirasi pembentukan tata sosial yang inklusif. Piagam tersebut tidak hanya mengatur hak dan kewajiban kaum Muslim, tetapi juga komunitas Yahudi dan kelompok lain sebagai bagian dari satu kesatuan warga. Sarjana kontemporer menilai dokumen tersebut sebagai model tata kelola yang menghormati keberagaman dan mengekang dominasi mayoritas (Anjum, 2021). Refleksi atas fakta ini mengajarkan Maulid tidak boleh terjebak pada glorifikasi simbolik, melainkan harus menghadirkan praksis sosial yang menegakkan martabat semua pihak.
    Dengan kerangka tersebut, arah transformasi perayaan Maulid seharusnya jelas. Pertama, pengajian Maulid perlu diisi dengan kajian sirah Nabi yang relevan dengan tantangan kontemporer, seperti etika bisnis, penghapusan diskriminasi, dan penguatan solidaritas sosial. Kedua, perayaan maulid perlu diintegrasikan dengan aksi sosial nyata, seperti sedekah produktif, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, serta pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi kelompok rentan. Ketiga, perlu ditumbuhkan budaya kritik yang santun terhadap praktik ketidakadilan dalam pemerintahan, bisnis, maupun institusi agama. Keberanian moral untuk menegur kekeliruan justru merupakan salah satu esensi keberagamaan yang diwariskan Nabi (Armstrong, 2006).
    Dengan demikian, Maulid yang hanya menonjolkan kemeriahan lahiriah tanpa menginternalisasi nilai-nilai profetik sama artinya dengan kehilangan substansinya. Nabi Muhammad SAW sejatinya tidak membutuhkan pesta perayaan, tetapi kita sebagai umatNya tentu membutuhkan keteladanan beliau. Merayakan Maulid berarti menjadikan Nabi sebagai inspirasi untuk berani berpihak pada yang lemah, mengoreksi status quo yang timpang, dan menegakkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal ini diwujudkan, maka Maulid Nabi tidak lagi miskin substansi, melainkan menjadi momentum transformasi spiritual, sosial, dan moral bagi umat.

    DAFTAR PUSTAKA
    Abdel Haleem, M. A. S. (Trans.). (2004). The Qur’an. Oxford University Press.
    Anjum, O. (2021). The “Constitution” of Medina: Translation, commentary, and meaning today. Yaqeen Institute for Islamic Research. https://f.hubspotusercontent10.net/hubfs/4713562/Website-Paper-PDFs/Medina%20Paper-Final.pdf
    Armstrong, K. (2006). Muhammad: A prophet for our time. HarperOne.
    Kompasiana. (n.d.). Makna tersirat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/afiesruditsetyono0962/68aaf99dc925c4789f3793c3/makna-tersirat-peringatan-maulid-nabi-muhammad-saw
    Scribd. (n.d.). Nilai esensial memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Scribd. https://id.scribd.com/document/13099482/Nilai-Esensial-Memperingati-Maulid-Nabi-Muhammad-SAW
    UIN Alauddin. (n.d.). Sosiologi dan degradasi makna tradisi Maulid Nabi. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/sosiologi-dan-degradasi-makna-tradisi-maulid-nabi
    Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and statesman. Oxford University Press.