Ketika Michael H. Hart menerbitkan bukunya yang fenomenal, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History pada tahun 1978, banyak yang terperanjat. Bagaimana mungkin seorang sejarawan Barat non-Muslim dengan berani menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia? Keputusan Hart ini tidak lahir dari fanatisme agama, melainkan dari analisis objektif: sejauh mana seorang tokoh memberi dampak transformatif bagi peradaban dunia. Dari miliaran manusia yang pernah hidup, Hart justru menunjuk Nabi Muhammad sebagai sosok paling berpengaruh—karena beliau tidak hanya berhasil sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin politik, negarawan ulung, dan pembaru sosial yang warisannya masih terasa hingga hari ini (Hart, 1978).
Pengakuan ini seharusnya menjadi bahan muhasabah bagi umat Islam. Jika seorang intelektual non-Muslim bisa melihat keagungan Nabi dengan jernih, bagaimana dengan kita yang mengaku pengikutnya? Berkaitan dengan ini, pertanyaan reflektif sebagai bahan muhasabah dapat diajukan: "apakah kita sungguh mewarisi dan menghidupkan ajaran beliau dalam keseharian, atau hanya puas berhenti pada simbol, seremoni, dan nostalgia sejarah?"
Hart sendiri menegaskan Nabi Muhammad adalah satu-satunya tokoh dalam sejarah yang mampu menyatukan keberhasilan spiritual dan temporal dalam skala besar (Hart, 1978). Pernyataan ini harusnya dapat membuka mata lebar-lebar, berapa Islam bukan hanya agama ritual, melainkan juga proyek peradaban. Rasulullah SAW menegakkan etika universal yang mengguncang fondasi tirani dan ketidakadilan. Beliau menolak perbudakan, menantang diskriminasi, dan membela kaum lemah. Prinsipnya sederhana tapi revolusioner—setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat [49]:13).
Namun, realitas hari ini justru jauh dari spirit profetik itu. Korupsi, ketimpangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan kemiskinan struktural masih mewarnai kehidupan umat. Padahal, salah satu teladan terbesar Nabi adalah keberpihakannya pada kaum tertindas (mustadl‘afin). Beliau menolak hegemoni elit yang menindas rakyat kecil—sikap yang membuatnya dicintai sebagian, tapi juga dimusuhi sebagian yang lain. Jika kita mengaku pengikut Nabi, membela keadilan dan menegakkan suara kaum marginal seharusnya menjadi prioritas nyata, bukan hanya jargon kosong (Esposito, 2002).
Lebih jauh, pengakuan Hart mestinya menumbuhkan rasa percaya diri umat Islam untuk menampilkan wajah Islam yang ramah, adil, dan membawa solusi. Dunia modern sering kali mengidentikkan Islam dengan kekerasan akibat ulah segelintir kelompok radikal. Padahal, sosok Nabi adalah teladan kasih sayang, bahkan kepada musuh-musuhnya. Beliau adalah rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi semesta. Piagam Madinah menjadi bukti konkret: Rasulullah mengikat umat Muslim, Yahudi, dan kelompok non-Muslim lainnya dalam sebuah konsensus sosial-politik yang menjunjung toleransi, keadilan, dan kebersamaan (Armstrong, 2006).
Dari sini, kita dapat memetik pelajaran bahwa keteladanan Nabi tidak boleh berhenti pada romantisme sejarah. Kesalehan ritual harus berjalan seiring dengan kesalehan sosial. Mengikuti jejak beliau bukan hanya soal shalat, puasa, atau ibadah personal, tapi juga soal kejujuran, keberanian melawan ketidakadilan, menjaga amanah, dan menebarkan kasih sayang dalam relasi sosial.
Sayangnya, umat Islam sering gagal menunjukkan Islam sebagai agama yang progresif dan berkeadaban. Salah satu sebabnya adalah terjebak dalam formalisme keagamaan yang miskin substansi. Umat Islam hari ini sibuk memperdebatkan hal-hal kecil, sementara masalah besar seperti kemiskinan, ketimpangan, atau krisis lingkungan dibiarkan menggantung. Padahal, Nabi Muhammad hadir justru untuk membebaskan manusia dari kebodohan, penindasan, dan penderitaan struktural.
Akhirnya, pengakuan Michael Hart bukan sekadar catatan prestisius dalam sejarah, tetapi alarm kesadaran. Jika dunia saja mengakui Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh, umat Islam tidak punya alasan untuk ragu menegakkan peradaban yang beliau wariskan, yakni peradaban yang adil, beradab, dan bermartabat. Spirit kenabian harus menjadi energi moral untuk melawan tirani modern dalam segala bentuknya—kapitalisme yang eksploitatif, politik yang koruptif, atau budaya populer yang merusak nilai kemanusiaan.
Dengan begitu, muhasabah ini menegaskan satu hal: keteladanan Nabi Muhammad bukan sekadar memori masa lalu, melainkan proyek peradaban yang harus terus diperjuangkan. Umat Islam mesti berani merefleksikan, mengevaluasi, dan menghidupkan kembali spirit kenabian dalam tindakan nyata, agar Islam tidak hanya dikenang, tapi juga dirasakan manfaatnya oleh semua manusia. Jika Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia, maka tugas kita adalah memastikan pengaruh itu tetap hidup dalam praksis sosial, budaya, dan spiritual hari ini.
REFERENSI
Armstrong, K. (2006). Muhammad: A prophet for our time. HarperCollins.
Esposito, J. L. (2002). What everyone needs to know about Islam. Oxford University Press.
Hart, M. H. (1978). The 100: A ranking of the most influential persons in history. Hart Publishing Company.