Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Friday, September 5, 2025

    NABI MUHAMMAD DAN TRANSFORMASI SOSIAL



    Nabi Muhammad SAW hadir dalam sejarah bukan hanya sebagai penyampai risalah ketuhanan, melainkan juga sebagai agen transformasi sosial yang membawa perubahan mendasar dalam peradaban manusia. Kehidupan beliau menandai titik balik revolusioner dari kondisi jahiliyah menuju masyarakat tauhid yang berkeadilan. Pada masa ketika praktik dehumanisasi, diskriminasi, dan dominasi elit Quraisy begitu mengakar, Nabi tampil dengan visi besar, yakni memerdekakan manusia dari belenggu penindasan, menegakkan kesetaraan, serta membangun solidaritas sosial lintas batas. Dengan begini menjadi jelas, misi kenabian Muhammad tidak hanya berhenti pada dimensi teologis, melainkan juga bergerak pada praksis sosial yang tetap relevan hingga hari ini.

    Transformasi profetik tersebut berakar pada konsep tauhid. Pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah berarti menafikan klaim superioritas manusia atas manusia lain. Tauhid membawa implikasi sosial yang mendalam. Ia meruntuhkan hierarki semu yang menopang dominasi kelas tertentu dalam masyarakat Arab pra-Islam. Tradisi penguburan bayi perempuan, eksploitasi budak, dan kekuasaan absolut kaum bangsawan dikoreksi melalui ajaran kesetaraan dan penghormatan terhadap martabat semua manusia (Rahman, 1982). Dalam khutbah terakhirnya, Nabi menegaskan tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan ketakwaan. Pernyataan ini dapat dipandang sebagai deklarasi kesetaraan universal yang mendahului wacana hak asasi manusia modern (Ibn Hisham, 2000).

    Lebih jauh, progresivitas Nabi tampak dari keberaniannya menembus konservatisme sosial yang melekat pada masyarakat saat itu. Dalam struktur patriarkis yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, beliau justru menegaskan hak-hak perempuan dalam bidang warisan, pendidikan, dan partisipasi sosial. Dari segi gender misalnya, perempuan dipandang sebagai subjek berdaya, bukan objek pasif (Barlas, 2002). Dalam ranah politik, Nabi menggagas Piagam Madinah sebagai kontrak sosial yang mengikat komunitas Muslim, Yahudi, dan pagan dalam satu komunitas politik yang setara. Piagam ini mencerminkan visi pluralisme dan inklusivitas yang melampaui zamannya, sekaligus menghadirkan model masyarakat multikultural yang progresif.

    Keberpihakan Nabi terhadap kelompok mustadl‘afin—yakni mereka yang tertindas secara sosial, ekonomi, maupun politik—merupakan aspek sentral dari etika sosial Islam. Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya membela yatim, fakir miskin, dan kaum dhuafa, sebagaimana termaktub dalam Surah al-Ma‘un (107:1–7). Praktik Nabi konsisten dengan pesan ilahi tersebut. Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam diberi kehormatan sebagai muazin pertama. Ammar bin Yasir dan keluarganya, meskipun mengalami penyiksaan karena iman, tetap mendapatkan dukungan Nabi. Sumayyah, syahid pertama dalam Islam, dihormati karena keteguhan keyakinannya. Fakta ini memperlihatkan basis revolusi Islam justru bertumpu pada kalangan marginal, bukan elit sosial.

    Keberpihakan tersebut tidak bersifat paternalistik, melainkan emansipatoris. Kaum mustadl‘afin diposisikan bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai subjek perubahan. Prinsip ukhuwah Islamiyah menjadi fondasi solidaritas sosial yang membebaskan, sehingga masyarakat baru dapat dibangun di atas prinsip keadilan kolektif, bukan dominasi elit. Spirit keberpihakan ini seharusnya menginspirasi umat Islam kontemporer dalam menghadapi persoalan ketidakadilan struktural, kesenjangan ekonomi, dan marginalisasi sosial.

    Namun, realitas umat Islam hari ini kerap menunjukkan kecenderungan berbeda. Diskursus tentang penampilan lahiriah, perdebatan seputar formalitas ritual, dan penguatan identitas simbolik sering kali lebih dominan dibanding internalisasi substansial agama, serta etika sosial Nabi. Akibatnya, dimensi revolusioner dan progresif dari teladan beliau justru terpinggirkan dalam menghadapi persoalan riil masyarakat modern. Persoalan kemiskinan struktural, ketidakadilan ekonomi, marginalisasi kelompok minoritas, serta eksploitasi tenaga kerja masih sering luput dari perhatian praksis keagamaan. Padahal, misi profetik Nabi secara jelas menuntut keberpihakan nyata kepada mereka yang tidak memiliki suara dalam struktur sosial yang timpang.

    Dalam konteks Indonesia, muhasabah terhadap teladan Nabi menegaskan tauhid bukan semata doktrin teologis, melainkan basis emansipasi sosial. Ukhuwah tidak boleh berhenti sebagai retorika persaudaraan, tetapi harus diwujudkan dalam solidaritas lintas kelas, etnis, dan agama. Keadilan tidak semestinya diperlakukan sebagai jargon politik, tetapi harus diterjemahkan dalam kebijakan publik yang berpihak pada kaum lemah. Relevansi misi kenabian di era modern justru terletak pada keberanian untuk menghadirkan nilai-nilai profetik dalam praksis sosial yang konkret dan terukur.

    Dengan demikian, revolusi moral dan sosial yang dimulai Nabi Muhammad lebih dari empat belas abad yang lalu tidak boleh dipandang sebagai nostalgia sejarah. Ia adalah panggilan etis yang menuntut aktualisasi dalam kehidupan kontemporer. Peringatan atas keteladanan beliau tidak cukup diekspresikan melalui pujian atau ritual seremonial semata, tetapi harus diwujudkan dalam keberanian untuk melanjutkan misi profetik, seperti membangun peradaban yang adil, progresif, dan berpihak kepada mustadl‘afin. Muhasabah ini menegaskan keteladanan Nabi Muhammad SAW adalah fondasi moral yang tetap relevan sepanjang zaman.


    REFERENSI

    Barlas, A. (2002). Believing women in Islam: Unreading patriarchal interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.

    Ibn Hisham. (2000). The life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 8th century).

    Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.