Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Friday, September 5, 2025

    KETELADANAN NABI MUHAMMAD: SUARA PEMBEBASAN BAGI KAUM TERTINDAS



    Dalam sejarah panjang peradaban manusia, Nabi Muhammad SAW hadir tidak hanya sebagai penyampai risalah ketuhanan, melainkan juga sebagai suara pembebasan yang membangunkan kesadaran kolektif masyarakat tertindas. Beliau lahir di tengah masyarakat Arab jahiliah yang sarat dengan ketimpangan sosial, di mana kemuliaan ditentukan oleh garis keturunan, status sosial, dan kekayaan. Risalah Islam yang dibawa Nabi menjadi koreksi fundamental terhadap struktur sosial yang timpang tersebut sekaligus menghadirkan revolusi moral, spiritual, dan sosial. Beberapa fakta ini mengafirmasi Islam tidak dapat dipahami semata sebagai sistem ritual keagamaan, melainkan juga sebagai gerakan pembebasan yang membela martabat manusia secara universal.

    Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sarat dengan roh pembebasan. Al-Qur’an menegaskan, manusia diciptakan beragam agar saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan (Qur’an 49:13, trans. Abdel Haleem, 2005). Pesan ini membongkar logika diskriminasi sosial yang telah mengakar dalam struktur jahiliah. Rasulullah menegakkan pesan tersebut bukan hanya melalui ucapan, tetapi juga melalui tindakan konkret: pembebasan budak, pengangkatan derajat kaum miskin, serta pemuliaan perempuan yang sebelumnya direduksi menjadi objek budaya patriarkis. Dalam perspektif teologi pembebasan, Islam tampil sebagai agama yang berpihak pada kaum lemah dan menolak segala bentuk penindasan struktural (Esack, 1997).

    Keteladanan Nabi juga tercermin dalam model kepemimpinannya. Beliau tidak menerapkan pola otoriter yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan menghadirkan gaya kepemimpinan, yang dalam literatur modern dikenal sebagai servant leadership. Konsep ini menekankan pelayanan, solidaritas, dan teladan moral (Ramadan, 2007). Nabi memimpin dari tengah, bukan dari menara gading. Beliau terjun langsung merasakan penderitaan umatnya. Saat masyarakat Madinah mengalami kelaparan, Nabi ikut merasakan lapar. Saat parit digali untuk pertahanan kota, beliau turut mengangkat tanah dengan tangannya. Kepemimpinan seperti ini menunjukkan pemimpin sejati adalah pemimpin yang melayani, bukan mengeksploitasi.

    Relevansi keteladanan Nabi tetap nyata hingga masa kini. Dunia memang berubah, tetapi bentuk penindasan sosial belum hilang sepenuhnya. Kemiskinan struktural, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi gender, dan marginalisasi kelompok minoritas masih menjadi problem global yang nyata. Dalam konteks ini, pesan kenabian tentang keadilan dan kesetaraan perlu dibaca ulang sebagai inspirasi moral sekaligus dorongan praksis sosial. Jika Nabi Muhammad membebaskan Bilal bin Rabah dari perbudakan, maka umat Islam masa kini dipanggil untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ekonomi. Dengan cara inilah teladan profetik tetap dapat relevan sebagai energi transformasi sosial dalam menghadapi tantangan modernitas.

    Sayangnya, realitas umat Islam hari ini kerap menunjukkan hal yang sebaliknya. Agama sekarang tidak jarang justru menjadi instrumen legitimasi untuk mempertahankan struktur penindasan. Alih-alih menjadi kekuatan moral yang menentang ketidakadilan, agama seringkali dimanfaatkan sebagai instrumen politik untuk kepentingan elit. Situasi ini bertolak belakang dengan teladan Nabi yang menunjukkan agama sejati adalah energi etis yang membebaskan, bukan mengekang. Keimanan sejati bukan sekadar ritual formal, melainkan praksis sosial yang berpihak kepada kaum lemah dan menolak penindasan dalam bentuk apa pun.

    Dalam konteks muhasabah ini, umat Islam dipanggil untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah mengajarkan kekuasaan adalah amanah, bukan sarana penindasan; kekayaan adalah titipan, bukan instrumen eksploitasi; dan agama adalah sumber kasih sayang, bukan legitimasi hierarki semu. Oleh karena itu, umat Islam harus menjadikan keteladanan Nabi sebagai dasar keberpihakan pada kaum marginal, perjuangan keadilan sosial, dan penguatan martabat kemanusiaan.

    Warisan profetik Nabi Muhammad SAW sebagai suara pembebasan bagi kaum tertindas merupakan pusaka universal yang melintasi zaman dan lintas agama. Pesan kenabian bukan hanya milik umat Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. Dalam dunia yang masih ditandai oleh kesenjangan sosial, eksploitasi, dan ketidakadilan, gema seruan Nabi tetap relevan, bahwa tidak ada iman tanpa keberpihakan pada kaum tertindas, dan tidak ada ketakwaan tanpa pembelaan terhadap sesama. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW dapat dipahami sebagai figur revolusioner yang penuh kasih, pemimpin yang melayani, serta teladan yang menyatukan spiritualitas dengan misi pembebasan sosial.

    Daftar Pustaka (APA 7th Edition)

    Esack, F. (1997). Qur’an, liberation and pluralism: An Islamic perspective of interreligious solidarity against oppression. Oneworld Publications.

    Qur’an. (2005). (M. A. S. Abdel Haleem, Trans.). The Qur’an. Oxford University Press.

    Ramadan, T. (2007). In the footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford University Press.