Pengetahuan sering dipuja sebagai puncak pencapaian manusia, tetapi justru di situlah letak masalahnya. Pengetahuan tidak selalu murni, objektif, atau netral. Ia kerap menipu, menyesatkan, bahkan memperdaya manusia. Tidak sedikit orang meyakini sesuatu yang ia sebut pengetahuan, padahal sejatinya hanyalah kepercayaan keliru yang dibungkus dengan otoritas atau retorika. Akibatnya, manusia sulit membedakan mana yang benar dan mana yang sekadar klaim. Lebih jauh, kekeliruan pengetahuan berdampak buruk, bahkan sangat buruk. Ia dapat melahirkan fanatisme, dogmatisme, dan kebijakan yang salah kaprah. Singkatnya, pengetahuan yang salah tidak hanya membodohi, tetapi juga menyesatkan, serta merusak kehidupan bersama. Problem pengetahuan adalah problem epistemologis yang mendasar. Problem ini menuntut perhatian serius, sebab jika tidak, kebodohan yang dibalut pengetahuan palsu akan terus direproduksi.
Francis Bacon, filsuf Inggris yang dikenal sebagai peletak dasar metode ilmiah modern, menawarkan analisis tajam mengenai akar persoalan ini. Menurut Bacon, sumber utama kekeliruan berpikir terletak pada apa yang ia sebut sebagai idola. Kata “idola” di sini tidak merujuk pada objek penyembahan religius, melainkan bias, ilusi, atau jebakan kognitif yang secara sistematis menghalangi manusia untuk berpikir logis dan objektif (Bacon, 1620/2000). Pikiran manusia, kata Bacon, hampir selalu terkontaminasi oleh idola. Karena itu, siapa pun yang ingin mencari kebenaran harus terlebih dahulu membersihkan akalnya dari idola-idola ini. Bacon mengklasifikasikan idola ke dalam empat jenis, yaitu idola tribus, specus, theatri, dan fori.
Idola tribus adalah kesalahan epistemologis yang melekat pada manusia sebagai spesies. Bacon menegaskan, pikiran manusia cenderung melihat hubungan yang sejatinya tidak ada hubungan (menghubungkan sesuatu yang tidak berhubungan), menggeneralisasi dari data terbatas, dan terlalu percaya pada kesan indrawi (Bacon, 1620/2000). Dalam psikologi modern, hal ini mirip dengan confirmation bias atau patternicity (Kahneman, 2011). Dampaknya, keyakinan sering lebih ditentukan oleh intuisi cepat ketimbang bukti empiris. Karena itu, klaim pengetahuan harus diuji lewat korespondensi dengan fakta, konsistensi dengan pengetahuan lain, serta kegunaannya dalam praktik.
Idola specus adalah bias pribadi yang lahir dari “gua” masing-masing subjek, mulai dari latar belakang, pengalaman, atau kepercayaan yang menyaring realitas. Dua orang bisa melihat data yang sama, tetapi menafsirkannya berbeda sesuai "gua"nya masing-masing. Fenomena ruang gema digital adalah contoh kontemporer. Dampak epistemiknya jelas, pengetahuan diseleksi bukan berdasarkan bukti, melainkan preferensi. Jalan keluarnya adalah verifikasi obyektif, dialog kritis dengan sudut pandang berbeda, serta pengujian gagasan dalam konteks yang menantang keyakinan pribadi (Bacon, 1620/2000).
Idola theatri menunjuk pada dogma, teori, dan sistem pemikiran yang diperlakukan bak panggung teater: indah, teratur, namun tidak sesuai kenyataan. Bacon mengkritik tradisi skolastik yang lebih setia pada teori daripada fakta (Bacon, 1620/2000). Bentuk modernnya tampak ketika paradigma ilmiah dijadikan dogma kebal kritik (Popper, 1959; Kuhn, 1962). Akibatnya, fakta dipaksa menyesuaikan teori. Untuk menghindarinya, setiap dogma, teori, dan sistem pemikiran harus diuji keras terhadap kemungkinan falsifikasi, diperiksa konsistensinya, dan dinilai berdasarkan kontribusi praktisnya.
Idola fori adalah jebakan bahasa. Manusia sering menyamakan kata dengan realitas, padahal bahasa penuh ambiguitas. Akibatnya, perdebatan kerap berputar pada istilah, bukan substansi. Bacon (1620/2000) memperingatkan kata-kata bisa mengaburkan pemikiran lebih daripada menjelaskannya. Reifikasi konsep, penyalahgunaan istilah, atau slogan politik adalah contohnya. Pencegahannya ialah definisi yang jelas, konsistensi istilah, dan pengujian apakah perbedaan kata berimplikasi nyata pada prediksi atau tindakan.
Keempat jenis idola ini, menurut Bacon, adalah penghalang utama dalam mencari pengetahuan yang benar. Tanpa disadari, manusia menggunakannya setiap hari dalam berpikir, berdiskusi, bahkan mengambil keputusan penting. Karena itu, diperlukan semacam “resep anti tolol”, suatu metode yang dapat melindungi manusia terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan berpikir. Resep itu tidak lain adalah berpikir logis, kritis, dan analitis. Tiga cara berpikir ini memungkinkan manusia menyaring pengetahuan, membedakan klaim benar dan salah, serta menguji kebenaran dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.
Metode berpikir logis, kritis, dan analitis bisa dipahami melalui tiga teori kebenaran utama dalam filsafat: korespondensi, koherensi, dan pragmatisme. Pertama, teori korespondensi. Teori ini menyatakan kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Sebuah klaim hanya bisa dianggap benar jika sejalan dengan fakta atau realitas empiris. Contohnya sederhananya: jika seseorang mengatakan “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan normal”. Klaim itu benar, karena sesuai dengan fakta yang sudah teruji. Teori ini menekankan perlunya verifikasi dan bukti nyata dalam setiap klaim kebenaran (Russell, 1912/1997).
Kedua, teori koherensi, yakni kebenaran yang ditentukan oleh konsistensi internal dalam suatu sistem pengetahuan. Artinya, sebuah pernyataan harus selaras dengan pernyataan lain yang telah diterima sebagai benar. Contoh sederhananya, jika seseorang meyakini bahwa “semua manusia fana” dan juga menerima “Socrates adalah manusia,” maka secara koheren ia harus menerima kesimpulan “Socrates fana.” Ketidakselarasan atau kontradiksi akan merusak struktur pengetahuan itu sendiri. Dalam praktik sosial, kontradiksi ini sering muncul, misalnya seseorang yang mendukung demokrasi, tetapi sekaligus menolak kebebasan berpendapat. Teori koherensi menuntut kita menjaga sistem berpikir tetap tertib dan konsisten (Bradley, 1914/1981).
ketiga, teori pragmatisme, yakni kebenaran yang diuji melalui kegunaan praktis suatu gagasan. William James (1907/2000) menegaskan, suatu ide dapat dikatakan benar, apabila ia memiliki fungsi, dampak, dan manfaat dalam kehidupan nyata. Contoh aplikatifnya dapat dilihat dalam bidang kedokteran. Teori tentang vaksin dianggap benar bukan hanya karena konsisten dengan data ilmiah, tetapi juga karena secara praktis terbukti mampu menekan angka kematian dan penyakit. Sebaliknya, sebuah teori yang indah di atas kertas tetapi tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan persoalan nyata, nilainya diragukan secara pragmatis. Dengan demikian, teori pragmatisme memastikan pengetahuan tidak berhenti sebagai abstraksi, melainkan memiliki dampak nyata bagi kehidupan.
Dengan mengintegrasikan tiga teori kebenaran ini, metode berpikir logis, kritis, dan analitis menjadi resep efektif untuk melawan idola-idola Bacon. Korespondensi menjaga kita tetap berpijak pada fakta, koherensi memastikan sistem berpikir konsisten, dan pragmatisme menjamin pengetahuan tetap bermanfaat. Resep ini tidak akan membuat manusia sempurna, tetapi setidaknya dapat mengurangi risiko kesesatan berpikir.
Problem pengetahuan tidak bisa dianggap remeh. Kegagalan membedakan pengetahuan benar dari pengetahuan palsu hanya akan melahirkan masyarakat yang terjebak dalam dogma, manipulasi bahasa, dan ilusi kolektif. Francis Bacon telah mengingatkan sejak abad ke-17, bahwa pikiran manusia selalu terancam oleh idola. Namun, dengan resep anti tolol berupa metode berpikir logis, kritis, dan analitis yang ditopang oleh teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, manusia setidaknya memiliki peluang untuk keluar dari jebakan kebodohan. Pilihannya sederhana, apakah kita mau berpikir jernih, atau terus memelihara ilusi yang menyesatkan?
Daftar Pustaka
Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds. & Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1620)
James, W. (2000). Pragmatism. Hackett Publishing Company. (Original work published 1907)
Russell, B. (1997). The Problems of Philosophy. Oxford University Press. (Original work published 1912)
Bradley, F. H. (1981). Essays on Truth and Reality. Clarendon Press. (Karya asli 1914)
Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Hutchinson.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.