Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal. Tidak ada ajaran dalam Islam yang menyerukan pengabaian terhadap akal sehat, nalar rasional, atau pertimbangan logis. Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah secara eksplisit memuji orang-orang yang berpikir dan mencela mereka yang menolak menggunakan akalnya. Akal bukan hanya instrumen kognitif, melainkan syarat keberagamaan itu sendiri. Tanpa akal, manusia tidak memiliki dasar untuk memahami wahyu, mengamalkan syariat, atau mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah (Al-Ghazali, 2005).
Akal dalam Islam bukanlah lawan dari wahyu, melainkan mitra. Keduanya berjalan beriringan. Wahyu memberikan arahan normatif dan nilai-nilai universal, sementara akal bertugas untuk memahami, menguraikan, dan menerapkannya sesuai konteks kehidupan. Dalam pandangan ulama seperti Ibnu Taimiyyah, akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan dengan wahyu yang sahih. Jika tampak terjadi kontradiksi, maka bisa jadi karena kesalahan dalam memahami salah satu atau keduanya (Ibnu Taimiyyah, 1997). Maka dari itu, Islam tidak pernah memerintahkan pengikutnya untuk mematikan akal. Sebaliknya, ia mendorong umatnya untuk merenung, bertanya, menimbang, dan berpikir kritis (Al-Qaradawi, 1996).
Al-Qur’an menggunakan berbagai bentuk kata kerja dari akar kata akal (‘aql), seperti ya'qilun, ta'qilun, dan la ya'qilun, lebih dari lima puluh kali. Menariknya, bentuk kata benda dari akal tidak pernah muncul, seakan ingin menunjukkan akal harus digunakan, bukan sekadar dimiliki. Firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 9 menyebutkan, hanya orang-orang berilmu yang mampu menangkap makna ketakwaan. Para mufasir menjelaskan, yang dimaksud dengan “orang berilmu” dalam ayat tersebut adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta (Al-Qaradawi, 1996).
Dalam kerangka hukum Islam, akal memiliki posisi sentral. Ia merupakan salah satu syarat utama taklif, yaitu kondisi seseorang dibebani kewajiban hukum. Orang yang kehilangan akal, seperti anak kecil atau penderita gangguan jiwa, tidak dikenai kewajiban syariat. Ini menandakan Islam tidak hanya rasional, tetapi juga adil. Tak ada beban tanpa kesiapan. Ulama fikih klasik seperti Ibnu Qudamah menyatakan sah atau tidaknya ibadah seseorang tergantung pada keberadaan akalnya (Ibnu Qudamah, 1994). Tanpa akal, tidak ada tanggung jawab. Ihwal inilah yang membedakan Islam dari paham otoritarianisme religius yang memaksa pelaksanaan hukum kepada siapa saja tanpa mempertimbangkan kapasitas nalar.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menggambarkan akal sebagai fondasi ilmu dan amal. Ia menegaskan, ilmu adalah hasil dari akal, dan amal tidak akan sah jika tanpa ilmu. Maka, akal merupakan fondasi yang menopang seluruh bangunan agama. Dalam ungkapannya yang terkenal, “Akal adalah pangkal agama. Barang siapa tidak memiliki akal, maka tidak ada agama baginya” (Al-Ghazali, 2005). Pandangan ini memperjelas keberagamaan tanpa rasionalitas adalah ilusi. Beragama bukan hanya soal kepatuhan ritual, melainkan juga soal pemahaman dan kesadaran.
Namun demikian, tidak jarang terjadi kekeliruan dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu. Sebagian kalangan cenderung mengesampingkan akal demi menjunjung tinggi teks secara literal, sementara sebagian lain terlalu mengedepankan rasio hingga menolak otoritas wahyu. Kedua ekstrem ini tidak sejalan dengan prinsip epistemologi Islam. Islam menegaskan perlunya sintesis antara teks dan konteks, antara dalil naqli dan dalil aqli. Dalam proses ijtihad, misalnya, ulama menggunakan akal untuk memahami ayat-ayat yang terbuka untuk penafsiran, terutama dalam hal-hal yang tidak memiliki ketentuan hukum secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau hadits. Ini adalah bukti nyata betapa Islam memberi ruang yang luas bagi akal dalam konstruksi hukum, ilmu, dan etika (Ibnu Taimiyyah, 1997).
Pengabaian terhadap akal membawa risiko besar, termasuk munculnya taklid buta, fanatisme tanpa dasar, serta radikalisme berbasis teks yang kering dari konteks. Rasulullah SAW sendiri memperingatkan agar umatnya tidak menjadi pengekor tanpa berpikir. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, beliau bersabda, “Janganlah kalian menjadi orang yang berkata: jika orang-orang baik, aku juga baik; dan jika mereka zalim, aku pun ikut zalim. Tetapi biasakanlah diri kalian: jika orang-orang baik, ikutlah berbuat baik; dan jika mereka menyimpang, jangan ikut menyimpang” (Tirmidzi, 2007). Ini adalah ajaran tentang keberanian moral dan tanggung jawab intelektual—dua hal yang hanya bisa tumbuh dari akal yang sehat.
Akal juga menjadi penentu dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berkelanjutan. Sejarah mencatat, masa keemasan Islam ditopang oleh para ilmuwan dan pemikir yang menjadikan akal sebagai alat eksplorasi terhadap alam semesta dan kehidupan sosial. Dari Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khwarizmi dalam matematika, hingga Al-Farabi dan Ibnu Rusyd dalam filsafat, semuanya menunjukkan akal dan iman bisa berjalan seiring membentuk peradaban unggul. Maka, membungkam akal dalam beragama bukan hanya bertentangan dengan semangat Islam, tetapi juga merusak potensi umat untuk berkembang dan memberi manfaat luas bagi dunia (Al-Qaradawi, 1996).
Oleh karena itu, kampanye pentingnya akal dalam Islam harus terus digaungkan, terutama di tengah arus informasi yang kerap menyesatkan dan praktik keberagamaan yang kadang menjauh dari nilai-nilai rasionalitas. Menggunakan akal bukanlah sikap antiagama, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap agama itu sendiri. Akal adalah cahaya yang dengannya manusia bisa mengenal kebenaran, memahami wahyu, dan membedakan antara yang hak dan yang batil. Tanpa akal, iman akan rapuh, dan agama akan kehilangan arah. Islam adalah agama akal, dan umat Islam harus menjadi komunitas yang berpikir.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Jilid 1). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur'an al-Karim. Kairo: Maktabah Wahbah.
Ibnu Qudamah. (1994). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibnu Taimiyyah. (1997). Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (ed. Muhammad Rashad Salim). Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Saud.
Tirmidzi, A. I. (2007). Sunan at-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.