Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Kemunduran umat Islam tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi dari kemandekan cara berpikir, pembekuan warisan intelektual, dan ketidaksanggupan untuk membaca realitas dengan mata terbuka. Di tengah atmosfer keagamaan yang semakin dikungkung oleh tekstualisme dan dogmatisme, maqashid al-syari’ah yang digagas Imam al-Syatibi menawarkan lebih dari sekadar teori hukum. Ia adalah tawaran etos intelektual, cara berpikir yang menghubungkan teks, akal, dan realitas dalam satu simpul kesadaran etik.
Maqashid al-syari’ah, sebagaimana dirumuskan al-Syatibi, bukan hanya perangkat untuk memutuskan halal dan haram, melainkan juga fondasi pemikiran hukum yang menekankan pada tujuan: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-Syatibi, 2000). Dalam kerangka ini, maqashid menjadi alat untuk menilai apakah suatu hukum benar-benar mencerminkan nilai luhur Islam atau justru meneguhkan ketimpangan dan kebekuan. Sayangnya, maqashid hari ini kerap terpinggirkan dalam diskursus publik, tertutupi oleh gemuruh narasi yang lebih memprioritaskan bentuk, tetapi melupakan substansi.
Etos intelektual maqashid mensyaratkan keberanian untuk berpikir, mengkritik, dan mengevaluasi kembali warisan keilmuan Islam dengan perspektif keadilan dan maslahat. Jasser Auda (2008) menyebut pendekatan ini sebagai sistem berpikir multidimensional—yakni cara melihat syari’at sebagai sistem hidup yang harus mampu berdialog dengan kompleksitas sosial. Ini sangat berbeda dengan pendekatan mazhabistik yang hanya berkutat pada doktrin dan kepatuhan.
Dalam konteks pendidikan Islam, maqashid dapat menjadi titik balik. Selama ini, kurikulum di banyak lembaga Islam masih berfokus pada pelestarian tradisi, bukan pada pembangunan akal kritis. Hasilnya adalah generasi yang cakap menghafal dalil, tapi lemah dalam memahami hikmah. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Mohammad Hashim Kamali (2006), pemahaman maqashid memungkinkan siswa untuk mengaitkan ajaran agama dengan isu-isu keadilan sosial, etika publik, dan hak asasi manusia secara kontekstual dan solutif.
Kemunduran umat juga disebabkan oleh dominasi tafsir otoritatif yang tertutup terhadap dialog. Maqashid menawarkan narasi tandingan, yaitu keterbukaan terhadap perbedaan dan pengakuan terhadap konteks. Wael Hallaq (2009) dalam analisisnya menyebut bahwa hukum Islam menjadi tidak relevan bukan karena kehilangan otoritas, tetapi karena kehilangan daya kritis untuk memahami konteks modern. Maqashid, dalam hal ini, adalah kunci untuk merevitalisasi wacana hukum Islam yang humanistik dan progresif.
Lebih dari sekadar wacana akademik, maqashid memiliki aplikasi konkret dalam kebijakan publik. Ketika digunakan sebagai fondasi kebijakan, maqashid mendorong negara untuk menjamin keadilan, menghapus kemiskinan, dan menjaga martabat warga negara. Dalam pendekatan ini, politik Islam bukanlah proyek kekuasaan, melainkan ekspresi nilai-nilai etis yang membela kemanusiaan (Abou El Fadl, 2001). Maka dari itu, maqashid harus masuk ke ruang-ruang legislatif, bukan hanya mimbar-mimbar dakwah.
Pemikiran al-Syatibi juga menjadi inspirasi bagi banyak tokoh kontemporer seperti Taha Jabir Al-Alwani dan Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka menyebut maqashid sebagai “ruh syari’at” yang memungkinkan Islam hadir dalam ruang publik secara adil, inklusif, dan rasional (Abu Zayd, 2006). Mereka menolak syari’at yang hanya dijadikan alat moral policing, dan sebaliknya mendorong interpretasi yang membebaskan dari struktur sosial yang menindas.
Namun, revitalisasi maqashid sebagai etos intelektual tidak mungkin terwujud tanpa keberanian kolektif. Kita memerlukan gerakan ilmiah yang menjadikan maqashid sebagai prinsip pendidikan, legislasi, dan dakwah. Ini menuntut kolaborasi antara ulama, intelektual, dan masyarakat sipil yang bersedia meninggalkan zona nyaman dogma, menuju ruang hikmah yang lebih mencerahkan.
Ketika maqashid dijadikan cara berpikir, bukan hanya alat hukum, maka Islam akan menemukan kembali daya intelektualnya yang sejati. Dalam maqashid, kita tidak hanya menemukan norma, tetapi juga arah. Kita tidak hanya menemukan hukum, tetapi juga kebijaksanaan. Inilah yang membuat maqashid al-Syatibi begitu relevan hari ini. Ia bukan sekadar teori, melainkan strategi kultural untuk mengakhiri era kejumudan dan memasuki kembali era pencerahan.
Sumber:
Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.
Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.
al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.
Hallaq, W. B. (2009). Shari‘a: Theory, Practice, Transformations. Cambridge University Press.
Kamali, M. H. (2006). Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.
Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism. Cambridge University Press.