Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

AL-SYATIBI, MAQASHID AL-SYARI’AH, DAN URGENSI RASIONALITAS DALAM ISLAM ABAD KE-21

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T14:38:03Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Ketika umat Islam menghadapi berbagai tantangan besar di abad ke-21—dari otoritarianisme hingga stagnasi pendidikan dan krisis nalar kritis—pertanyaan mendasar muncul: apakah agama masih memiliki daya transformatif, atau justru menjadi bagian dari kebuntuan? Dalam arus inilah, pemikiran Imam al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah tampil sebagai pilar konseptual yang penting untuk menyelamatkan Islam dari kejumudan dengan menawarkan kembali jalan rasionalitas.

Maqashid al-syari’ah bukan sekadar teori hukum, melainkan sistem etika yang berlandaskan pada prinsip rasional dan maslahat. Al-Syatibi menegaskan bahwa syari’at datang untuk mewujudkan kemaslahatan umat, bukan untuk membebani mereka dengan formalitas ritual atau kerumitan hukum yang kehilangan makna sosialnya (al-Syatibi, 2000). Melalui lima tujuan utama syari’at—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—al-Syatibi mengembalikan agama kepada akarnya: memberi manfaat nyata bagi manusia.

Sayangnya, diskursus Islam modern masih banyak dikuasai oleh wacana-wacana yang tidak kompatibel dengan semangat rasional maqashid. Tafsir literal terhadap teks-teks klasik kerap dipertahankan tanpa kritik, bahkan ketika realitas sosial telah berubah drastis. Banyak produk hukum atau fatwa yang menolak perubahan dengan alasan “telah ada nash”, padahal konteks maqashid menuntut penyesuaian terhadap realitas baru. Inilah yang dikritik oleh Wael Hallaq (2009) sebagai kecenderungan membakukan warisan masa lalu tanpa ruang untuk berpikir ulang secara intelektual.

Di tengah era digital yang ditandai oleh keterbukaan informasi dan dinamika perubahan sosial, umat Islam tidak bisa lagi berpegang pada tradisi tekstualisme sempit. Islam abad ke-21 membutuhkan pendekatan rasional dan kritis yang dapat menjawab isu-isu modern seperti HAM, ekologi, bioetika, serta kebebasan beragama. Maqashid memberikan kerangka untuk menilai apakah suatu interpretasi hukum masih selaras dengan tujuan moral Islam atau justru menyalahi prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan (Auda, 2008).

Fazlur Rahman (1982) menegaskan pentingnya metodologi double movement dalam memahami Al-Qur’an—yakni memahami teks berdasarkan konteks sejarahnya, lalu menerapkan maknanya ke dalam konteks kontemporer. Ini sangat sejalan dengan spirit maqashid, karena menjadikan teks bukan sebagai artefak mati, tetapi sebagai sumber inspirasi etis. Dalam kerangka ini, ijtihad tidak hanya mungkin, tetapi wajib dilakukan untuk memastikan keberlanjutan pesan Islam di era modern.

Urgensi rasionalitas dalam Islam juga tercermin dalam bidang pendidikan. Selama pendidikan Islam masih berkutat pada hafalan teks dan penguatan otoritas mazhab, maka maqashid tidak akan membumi. Pendidikan maqashid menghendaki pelatihan berpikir kritis, kemampuan menimbang maslahat dan mafsadat, serta keberanian menyuarakan kebenaran meski berlawanan dengan dogma mapan. Kamali (2006) menyebut ini sebagai pendidikan untuk membentuk warga negara yang etis dan bertanggung jawab, bukan sekadar pengikut tradisi.

Tak kalah penting, maqashid juga berperan dalam reformasi politik Islam. Ketika negara atas nama agama memberangus kebebasan sipil, mengekang oposisi, atau mendiskriminasi warga negara, pendekatan maqashid menolak itu semua. Karena menjaga akal, jiwa, dan hak hidup adalah tujuan utama syari’at, maka segala bentuk kekuasaan yang melanggar prinsip tersebut tidak bisa dibenarkan secara syar’i (Abou El Fadl, 2001). Inilah maqashid sebagai instrumen kontrol terhadap kekuasaan, bukan legitimasi tirani.

Al-Syatibi dengan maqashidnya telah membuka jalan menuju Islam yang rasional dan etis, bukan kaku dan legalistik. Warisan ini akan sia-sia jika tidak dijadikan kerangka berpikir umat dalam menghadapi zaman. Dibutuhkan keberanian para pemikir, pendidik, dan pemangku kebijakan untuk menjadikan maqashid sebagai dasar utama dalam reformasi keislaman. Tanpa itu, Islam akan terus terjebak dalam nostalgia masa lalu, sementara dunia bergerak tanpa menunggu.

Islam abad ke-21 harus tampil sebagai agama nilai, bukan sekadar kumpulan norma. Karenanya, maqashid adalah jantungnya, dan rasionalitas adalah nadinya.

 

Sumber:

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Hallaq, W. B. (2009). Shari‘a: Theory, Practice, Transformations. Cambridge University Press.

Kamali, M. H. (2006). Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.

Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism. Cambridge University Press.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->