Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MAQASHID AL-SYARI’AH DI TENGAH KEMANDEKAN BERPIKIR UMAT: SERUAN KEMBALI KE PEMIKIRAN IMAM AL-SYATIBI

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T13:44:41Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Kemandekan berpikir dalam dunia Islam bukan sekadar masalah lemahnya teknologi atau kurangnya sumber daya manusia, melainkan krisis metodologi dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Ketika akal dikekang oleh dogma dan teks ditafsirkan secara sempit, lahirlah generasi yang kehilangan semangat kreatif, kehilangan keberanian ijtihad, dan akhirnya tenggelam dalam kejumudan. Dalam lanskap intelektual yang suram ini, pemikiran Imam al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah muncul sebagai cahaya yang menawarkan pembebasan—membuka jalan baru bagi kebangkitan rasionalitas Islam yang inklusif dan bermartabat.

Maqashid al-syari’ah adalah kerangka tujuan-tujuan syariat Islam yang mengarahkan hukum pada nilai-nilai dasar seperti perlindungan jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Bagi al-Syatibi, maqashid bukan hanya pelengkap dalam usul fikih, melainkan fondasi utama yang semestinya menjadi kompas dalam pengambilan keputusan hukum dan kebijakan sosial (al-Syatibi, 2000). Ketika pendekatan ini ditinggalkan, maka hukum berubah menjadi sekadar produk literal yang terlepas dari realitas umat. Di sinilah letak akar kejumudan: umat lebih sibuk pada detail hukum ketimbang makna yang dikandungnya.

Masalahnya, sebagian besar lembaga pendidikan Islam saat ini masih berorientasi pada pengulangan teks, bukan pembacaan kontekstual. Pelajaran fikih menjadi rutinitas menghafal pendapat lama, bukan arena eksplorasi maqashid. Maka tidak mengherankan jika umat mengalami disorientasi: antara semangat keagamaan yang tinggi dengan realitas sosial yang justru penuh konflik, ketidakadilan, dan kebodohan. Inilah yang dikritik oleh Mohammad Hashim Kamali (2010), bahwa pemahaman hukum Islam yang tidak dibingkai oleh maqashid cenderung kering, mekanistik, dan kurang responsif dalam menjawab kebutuhan umat.

Al-Syatibi, dengan pendekatan maqashidnya menawarkan pergeseran dari fikih legal-formal ke fikih yang responsif terhadap realitas. Ijtihad tidak cukup hanya merujuk pada dalil, tetapi juga harus mengukur sejauh mana hukum membawa maslahat, atau justru menimbulkan kerusakan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Jasser Auda (2008), yang menegaskan bahwa maqashid adalah jembatan antara wahyu dan realitas, antara norma dan perubahan sosial. Melalui kerangka ini, umat Islam dapat melakukan kritik terhadap tradisi hukum yang diskriminatif, konservatif, bahkan destruktif, namun tetap dalam bingkai syari’ah yang otentik.

Dalam praktik sosial, maqashid dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang adil, moderat, dan humanistik. Misalnya, pendekatan maqashid dalam ekonomi syariah tidak hanya sibuk mempersoalkan halal-haram transaksi, tetapi juga disibukkan dengan pembahasan distribusi kekayaan, etika produksi, dan perlindungan konsumen. Dalam bidang pendidikan, maqashid mendorong kurikulum yang menyeimbangkan antara nalar kritis, nilai spiritual, dan keterampilan praktis. Dalam politik, maqashid menghendaki sistem yang menjamin partisipasi rakyat, keadilan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar (Abu Zayd, 2006; El Fadl, 2001).

Namun, upaya membumikan maqashid bukan tanpa hambatan. Banyak kalangan menganggap pendekatan ini terlalu liberal, terlalu modern, atau bahkan menyalahi tradisi. Padahal, al-Syatibi sendiri adalah bagian dari tradisi besar Islam—seorang ulama Maliki yang justru mengakar kuat dalam literatur klasik. Yang ia tawarkan bukan pembaruan destruktif, tetapi tafsir ulang atas syari’ah dengan cara yang lebih manusiawi dan rasional (Opwis, 2010).

Kini, saatnya umat Islam kembali menjadikan maqashid sebagai napas utama dalam membaca teks dan membentuk peradaban. Kita butuh generasi pemikir yang tidak hanya hafal hukum, tetapi juga memahami maknanya. Kita butuh lembaga pendidikan yang melahirkan ulama-pemikir, bukan hanya penghafal mazhab. Kita butuh ijtihad yang membebaskan, bukan yang membelenggu. Dengan semangat al-Syatibi, kebangkitan Islam yang rasional dan progresif bukanlah impian utopis, melainkan keniscayaan yang menunggu diwujudkan.

 

Sumber:

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

El Fadl, K. A. (2001). Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publications.

Kamali, M. H. (2010). Shari‘ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Opwis, F. (2010). Maqasid al-Shari’ah in Classical and Contemporary Islamic Legal Theory. Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School.

Zaman, M. Q. (2012). Modern Islamic Thought in a Radical Age: Religious Authority and Internal Criticism. Cambridge University Press.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->