Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Cerita ini merupakan pengalaman penulis saat menjadi mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Kala itu, penulis duduk di semester 6, tingkatan yang cukup memenuhi kriteria senior.
Kebiasaan penulis tidak jauh berbeda dengan mahasiswa aktivis umumnya yang menghabiskan hari-hari di warung kopi. Bagi penulis, kuliah hanyalah formalitas, ngopi aktivitas, diskusi rutinitas, organisasi loyalitas, dan membaca totalitas. World view ini sangat mempengaruhi para junior dan memberikan magnet tersendiri kepadanya, utamanya yang se-prodi dengan penulis.
Di antara banyak junior yang paling tertarik dengan world view tersebut, dan menunjukkan interestnya terhadap penulis adalah salah seorang junior angkatan 2016 yang berasal dari Pulau Garam. Di Warkop yang tidak jauh dari kampus terjadi diskusi yang cukup sengit. Junior yang mengaku sebagai ateis tersebut mendebati penulis. Ia membuka pertanyaan dengan aroma khas filosofis:
“Saya heran dengan sampean, kak. Sampean pintar, sampean banyak membaca, dan sampean suka Filsafat. Tetapi, kenapa masih solat dan percaya kepada Tuhan?”
Pertanyaan tersebut penulis jawab dengan agak sinis-humoristis: “Saya juga heran. Sampean yang bacaannya sedikit sudah macak-macak ateis.”
“Apakah yang membuat sampean sejauh ini masih percaya Tuhan?”, balasnya.
“Ada banyak hal yang membuat saya pada akhirnya sampai pada titik kesimpulan, bahwa Tuhan benar adanya dan Islam adalah agama yang benar. Beberapa bacaan saya terhadap al-Qur'an banyak dikonfirmasi oleh sains modern. Alasan inilah yang membuat saya percaya Tuhan, dan bersamaan dengan itu saya mengasumsikan kelahiran sains modern tidak lantas membuat Islam tidak relevan, sebagaimana diasumsikan oleh Auguste Comte dan Stephen Hawking. Sebaliknya, kelahiran sains justru mengafirmasi dan mengkonfirmasi kebenaran Islam”, jawab penulis.
Junior tersebut membalas dengan ketus nan serius:
“Bagi saya, jawaban seperti itu sangat normatif dan simplistis. Bisa dikatakan, sampean bilang begitu karena sampean adalah orang Islam dan lahir dari keluarga Islam, yang sedari kecil sudah dicekoki dengan doktrin buta kebenaran Islam, padahal belum tentu benar adanya. Dengan kata lain, jawaban sampean lebih mengarah kepada sekadar dugaan dari pada pembuktian dan pembenaran.”
Mendengar justifikasi tersebut, penulis membalas:
“Begini, ya. Saya membaca al-Qur'an yang pada akhirnya mengantar pada kesimpulan adanya Tuhan dan Islam adalah agama yang benar menggunakan kacamata falsifikasi, suatu nalar yang biasa digunakan oleh kalangan ateis. Tahukah kamu apa itu nalar falsifikasi, dan Siapakah tokoh yang kali pertama memperkenalkan konsep falsifikasi?”
Junior tersebut tampak kebingungan, lalu dengan spontan menjawab, “Tidak.” Mendengar jawaban ini, penulis memberikan sedikit ceramah tentang bagaimana menjadi ateis yang Kafah (sempurna).
“Berarti ateisme-mu nanggung. Kalau mau jadi ateis, sekalian jangan tanggung-tanggung, sekalian saja menjadi ateis yang kafah. Pilar menjadi ateis Kafah adalah falsifikasi, karena falsifikasi adalah nalar orang-orang ateis. Dengan ini, mereka menggugurkan kebenaran agama. Falsifikasi sendiri, sesederhana yang dapat didefinisikan adalah menyalah-nyalahkan. Maksudnya adalah, suatu klaim kebenaran dapat dikatakan benar, jika klaim tersebut lolos dari uji penyalahan. Konsep ini kali pertama diperkenalkan oleh Karl Raymund Popper yang dibahas secara sistematis dan komprehensif dalam bukunya, “The Logic of Scientific Discovery”. Dengan inilah saya membaca al-Qur'an, dan dengan ini saya menguji sejauh mana proposisi-proposisi (ayat-ayat) yang dikatakan al-Qur'an itu benar, berangkat dari uji penyalahan terlebih dahulu. Alih-alih saya mendapatkan celah kesalahan, yang saya dapatkan justru sebaliknya. Al-Qur'an selalu lolos dari uji penyalahan yang saya lakukan. Saat al-Qur'an mengatakan dalam QS. Al-Rahman: “Allah mempertemukan dua laut yang berbeda, di antara keduanya terdapat sekat (barzakh) yang tidak bisa ditembus”. Saya mencoba menyalahkan proposisi ini dengan sains mutakhir. Hasilnya, bukannya salah, malah benar. Studi oceanologi menemukan pertemuan dua laut yang berbeda, tetapi keduanya tidak bisa bersatu. Sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang saya baca menggunakan framework falsifikasi tersebut. Setiap kali saya mencoba untuk menemukan celah kesalahan al-Qur'an, setiap itu juga usaha saya gagal. Al-Qur'an selalu lolos dalam uji penyalahan tersebut. Pada akhirnya, yang saya lakukan tidak lain mengulang kalimat syahadat. Jadi, ketika kamu menganggap saya membaca al-Qur'an, yang kemudian menemukan kebenaran darinya, kemudian kamu menganggap cara baca saya apologis, kamu salah besar, karena yang saya lakukan menggunakan framework falsifikasi, sebuah framework yang biasa dipakai orang-orang ateis untuk menelanjangi klaim-klaim kebenaran agama.”
Penjelasan penulis yang menggunakan rumus persegi panjang: “P x L” (panjang kali lebar) tersebut akhirnya memahamkan junior penulis, bahwa iman tidak selamanya diperoleh dari sekadar keyakinan buta. Kadangkala dan sering terjadi, iman berasal dari kerja akal dan rasio yang bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, iman dan rasio, agama dan akal tidaklah bertentangan.