Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menyoal Istidraj: Dari Salah Faham Teologis Menuju Kesombongan Religius

Friday, May 9, 2025 | May 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-09T14:51:41Z

 


Dalam khazanah teologi Islam, istidraj sering diartikan sebagai proses ketika Allah memberikan kenikmatan duniawi secara bertahap kepada seseorang yang gemar berbuat dosa sebagai bentuk pembiaran menuju kehancuran. Istilah ini termaktub dalam Al-Qur'an, antara lain dalam QS. Al-An‘am: 44. Namun, di tengah masyarakat Muslim Indonesia, konsep istidraj mengalami penyempitan makna yang tidak hanya keliru secara teologis, tetapi juga melahirkan implikasi sosial yang problematik, terutama dalam bentuk kesombongan religius dan penghakiman sepihak terhadap orang lain.

Salah satu bentuk salah kaprah paling mencolok adalah menjadikan istidraj sebagai alat penghakiman terhadap kesuksesan orang lain. Ketika seseorang yang tidak tampak "saleh" justru hidup berkecukupan, memiliki jabatan, atau dikenal luas, maka sebagian dari kita langsung menyimpulkan bahwa ia sedang dalam kondisi istidraj—diberi nikmat agar semakin jauh dari Allah. Padahal, kesimpulan semacam ini tidak hanya tergesa-gesa, tapi juga menyiratkan adanya kesombongan spiritual, seolah-olah kita lebih memahami kehendak Allah daripada yang bersangkutan sendiri. Tindakan seperti ini justru bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam jebakan istidraj yang lebih dalam: merasa aman dari makar Allah dan mengklaim diri paling dekat dengan-Nya.

Kesalahan berpikir semacam ini timbul karena ketidakmampuan membedakan antara ujian, karunia, dan istidraj. Al-Qur’an sendiri menunjukkan bahwa nikmat tidak selalu berbanding lurus dengan keridaan Allah. Akan tetapi, menyematkan label istidraj kepada orang lain tanpa ilmu dan kehati-hatian justru mencerminkan kerancuan dalam memahami sunnatullah. Ini bukan semata soal ilmu, tapi juga soal etika dalam beragama—yang menuntut kita untuk berhusnuzhan, menjaga lisan, dan menghindari penilaian yang menisbikan rahasia ilahi.

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari budaya keberagamaan kita yang kadang lebih menekankan simbol daripada substansi. Penampilan lahiriah, jargon agama, dan popularitas ustaz-ustaz media lebih dianggap sebagai tolok ukur keimanan dibanding akhlak, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Ketika seseorang berbeda dari ‘pakem religius’ yang umum, ia mudah dicurigai, dan jika sukses, dituduh sedang berada dalam istidraj. Ironisnya, dalam proses tersebut, kita justru mempraktikkan apa yang disebut oleh para ulama sebagai ghurur—tipu daya terhadap diri sendiri yang meyakini bahwa kita pasti dalam jalan kebenaran karena merasa "beragama."

Padahal, istidraj sejatinya adalah urusan Allah semata. Ia adalah bentuk ujian tersembunyi yang hanya bisa dikenali oleh yang bersangkutan melalui proses muhasabah diri, bukan melalui penghakiman kolektif. Dalam tafsir al-Qurthubi, disebutkan bahwa istidraj adalah ketika seseorang terus diberi nikmat padahal ia lalai dan terus dalam maksiat—dan itu pun baru bisa dipahami setelah kejatuhan terjadi, bukan saat ia sedang dalam puncak keberhasilan.

Esai ini bukan hendak menafikan eksistensi istidraj, tapi justru mengingatkan bahwa setiap orang berpotensi mengalaminya—termasuk mereka yang merasa paling "benar" secara keagamaan. Mengkaji istidraj semestinya menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan kesadaran akan pentingnya menjaga hati dan amal, bukan malah menumbuhkan arogansi dalam beragama.

Sebagai penutup, marilah kita memposisikan konsep istidraj sebagai alat muhasabah, bukan sebagai palu penghakiman. Sebab, yang sejatinya lebih berbahaya dari istidraj adalah ketika kita merasa bebas menunjuk siapa yang sedang mengalami istidraj, sementara kita sendiri tidak menyadari bahwa mungkin kitalah subjek sesungguhnya. Wallahu a‘lam.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->