KETIKA DIAM BUKAN LAGI PILIHAN: MORALITAS PUBLIK DAN KEWAJIBAN BERSIKAP


Diam sering dianggap aman. Dalam banyak situasi, orang memilih untuk tidak bersuara demi menghindari konflik atau menjaga kenyamanan. Namun, sejarah menunjukkan, dalam menghadapi ketidakadilan, diam bukanlah pilihan netral. Ia adalah sikap—dan sering kali, diam berarti memberi ruang bagi ketidakadilan untuk tumbuh. Demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 menjadi bukti bahwa warga memilih untuk tidak lagi diam. Mereka bersatu menentang kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%, yang dianggap sangat memberatkan (Detikcom, 2025a).
Aksi tersebut tidak berhenti di isu pajak. Ia berkembang menjadi gerakan moral yang menolak berbagai kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, mulai dari PHK guru honorer tanpa pesangon, hingga proyek-proyek pembangunan yang dianggap tidak memiliki urgensi publik (Tirto.id, 2025a). Dari sini, menjadi sangat jelas bahwa diam berarti mengorbankan hak-hak dasar warga, serta membiarkan kesewenang-wenangan tumbuh subur. 
Dalam etika publik, ada konsep moral obligation to act—kewajiban moral untuk bertindak—yang menyatakan ketika seseorang menyadari adanya ketidakadilan, ia memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam memperbaikinya (Singer, 1972). Prinsip ini berlaku bukan hanya untuk individu, tetapi juga untuk komunitas. Dalam konteks Pati, ribuan warga yang turun ke jalan menjalankan kewajiban moral ini, meskipun tahu risiko bentrokan dan tekanan politik.
Partisipasi publik seperti ini sejalan dengan teori demokrasi partisipatif yang menekankan pentingnya keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan (Pateman, 1970). Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan pemilu lima tahunan, tetapi juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan mempengaruhi kebijakan. Ketika kebijakan tidak lagi mencerminkan kepentingan publik, diam hanya akan memperkuat posisi penguasa yang lalai atau menyalahgunakan wewenang.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pilihan untuk bersuara sering dihadapkan pada intimidasi, stigmatisasi, atau bahkan kriminalisasi. Insiden pembakaran mobil polisi dan bentrokan dalam aksi Pati (Detikcom, 2025b) menjadi bahan yang digunakan sebagian pihak untuk mendeligitimasi gerakan. Di sinilah pentingnya menjaga disiplin aksi dan strategi komunikasi publik yang cerdas, agar substansi tuntutan tidak tenggelam oleh narasi negatif.
Secara reflektif, kasus Pati menunjukkan diam bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga keputusan politik. Ketika masyarakat memilih diam, mereka sebenarnya sedang memindahkan kendali penuh kepada penguasa. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan, kesadaran kritis hanya bermakna jika diikuti dengan aksi transformatif. Kesadaran tanpa tindakan hanyalah retorika kosong.
Dari perspektif evaluatif, aksi Pati menjadi cermin bagi daerah lain. Ia mengajarkan keberanian kolektif dapat memaksa lahirnya mekanisme korektif, seperti pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh DPRD untuk mengusut kebijakan bupati (Detikcom, 2025c). Namun, kekuatan gerakan rakyat tidak boleh berhenti pada pencapaian simbolik. Pengawalan kebijakan, transparansi proses politik, dan partisipasi berkelanjutan adalah kunci agar perubahan benar-benar terjadi.
Lebih jauh, kewajiban bersikap tidak selalu berarti turun ke jalan. Ada banyak bentuk partisipasi yang bisa dilakukan: menghadiri forum konsultasi publik, mengajukan keberatan tertulis, memanfaatkan media sosial untuk edukasi isu, atau bergabung dalam organisasi masyarakat sipil. Setiap kontribusi, sekecil apa pun, adalah bagian dari mozaik besar perlawanan terhadap kebijakan yang tidak adil.
Diam memang lebih mudah, tetapi tidak selalu benar. Dalam situasi tertentu, diam berarti menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Dalam konteks kebijakan publik, diam bisa berarti menyetujui kebijakan yang merugikan banyak orang. Moralitas publik menuntut kita untuk bersikap, bahkan jika sikap itu berisiko tidak populer atau menimbulkan konsekuensi pribadi.
Kasus Pati memberi pelajaran penting: KEBERANIAN KOLEKTIF RAKYAT ADALAH BENTENG TERAKHIR DEMOKRASI. Tanpa keberanian itu, kekuasaan cenderung menyimpang dari tujuan utamanya—melayani rakyat. KETIKA DIAM BUKAN LAGI PILIHAN, BERSUARA MENJADI KEWAJIBAN. Ketika rakyat bersatu untuk bersikap, tidak ada kekuasaan yang benar-benar kebal dari koreksi.
Akhirnya, Pati telah mengingatkan kita, demokrasi hanya hidup jika warganya berani memeliharanya. Moralitas publik bukan sekadar nilai abstrak, melainkan kompas yang menuntun kita untuk memilih kapan harus berbicara, kapan harus bertindak, dan kapan harus berdiri bersama. Dalam menghadapi ketidakadilan, diam sejatinya bukanlah pilihan.

Sumber:
Detikcom. (2025a, August 13). Duduk perkara demo warga Pati hingga desak Bupati Sudewo mundur. Detik Jateng. https://www.detik.com/jabar/berita/d-8059024/duduk-perkara-demo-warga-pati-hingga-desak-bupati-sudewo-mundur
Detikcom. (2025b, August 13). Fakta-fakta demo Bupati Pati ricuh: 34 orang terluka, 11 ditangkap. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8059843/fakta-fakta-demo-bupati-pati-ricuh-34-orang-terluka-11-ditangkap
Detikcom. (2025c, August 14). DPRD Pati bentuk pansus usut kebijakan Bupati Sudewo. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8060012/dprd-pati-bentuk-pansus-usut-kebijakan-bupati-sudewo
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge University Press.
Singer, P. (1972). Famine, affluence, and morality. Philosophy & Public Affairs, 1(3), 229–243.
Previous Post Next Post

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال