RAKYAT TAK PERNAH BUNGKAM: PATI SEBAGAI SIMBOL PERLAWANAN TERHADAP KEZALIMAN


Demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 menjadi catatan penting dalam sejarah perlawanan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap zalim. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%, yang menjadi pemicu awal aksi, seakan menyulut bara yang selama ini terpendam di dada warga. Dalam waktu singkat, isu pajak itu berkembang menjadi gelombang penolakan terhadap berbagai kebijakan Bupati Sudewo yang dinilai memberatkan, dari masalah pendidikan, PHK guru honorer, hingga proyek-proyek kontroversial yang menguras anggaran daerah (Detikcom, 2025a).
Aksi yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan terbuka. Satu unit mobil polisi dibakar, 34 orang luka-luka, dan 11 orang diamankan aparat (Detikcom, 2025b). Meski kericuhan itu menyita perhatian publik, pesan utama dari demonstrasi ini tidak bisa diabaikan: RAKYAT TIDAK AKAN TINGGAL DIAM JIKA MERASA DITINDAS. Peristiwa ini mengingatkan demokrasi lokal hanya bisa bertahan jika partisipasi publik benar-benar dihargai.
Permintaan maaf Bupati Sudewo dan pencabutan kebijakan kenaikan PBB ternyata tidak memadamkan api protes. Bagi sebagian besar warga, langkah itu datang terlambat dan tidak menyentuh akar persoalan. Kekecewaan mereka sudah menumpuk, menyasar pola kepemimpinan yang dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik (Tirto.id, 2025a). Dengan kata lain, Pati menjadi panggung di mana rakyat menunjukkan permintaan maaf hanyalah awal, bukan solusi akhir.
Jika dicermati, aksi ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan manifestasi dari kesadaran politik yang semakin matang. Warga dari berbagai latar belakang—petani, guru honorer, pedagang, mahasiswa—bersatu menyuarakan tuntutan. Aliansi lintas profesi dan generasi ini menegaskan keadilan sosial tidak bisa dinegosiasikan. Menurut teori gerakan sosial, solidaritas lintas kelompok menjadi modal penting dalam menekan penguasa untuk melakukan perubahan kebijakan (Tilly, 2004).
Dari sudut pandang etika pemerintahan, kasus Pati memberi pelajaran, kekuasaan yang dilepaskan dari prinsip integritas akan kehilangan legitimasi. Legitimasi bukan hanya soal legalitas jabatan, tetapi juga kepercayaan publik yang dibangun melalui kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat (Lipset, 1981). Ketika kepercayaan itu runtuh, gelombang protes menjadi mekanisme korektif yang sah dalam demokrasi.
Respons DPRD Pati dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut kebijakan Bupati patut diapresiasi sebagai langkah konstitusional. Pansus ini diharapkan tidak hanya menjadi formalitas politik, tetapi benar-benar mengungkap fakta dan memberikan rekomendasi yang berpihak pada kepentingan rakyat (Detikcom, 2025c). Namun, pengalaman dari berbagai daerah menunjukkan efektivitas Pansus sangat bergantung pada integritas anggotanya, dan sejauh mana tekanan publik tetap terjaga selama proses berlangsung.
Perlawanan warga Pati juga memberi pesan moral yang kuat: DIAM BUKANLAH PILIHAN KETIKA HAK-HAK DASAR DIRAMPAS. Dalam sejarah demokrasi, kemajuan jarang datang dari sikap pasif. Sebaliknya, perubahan lahir dari keberanian untuk melawan, meski risiko dan konsekuensinya tidak ringan. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menegaskan kesadaran kritis rakyat akan mendorong mereka mengambil tindakan untuk mengubah realitas yang menindas.
Namun, perlu juga diingat, kekerasan dalam demonstrasi berisiko mengaburkan pesan moral dari aksi itu sendiri. Pembakaran mobil polisi, misalnya, meski menjadi simbol kemarahan, dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendeligitimasi gerakan. Di sinilah pentingnya strategi perlawanan yang disiplin, terorganisir, dan fokus pada tuntutan substantif.
Pati kini telah menjadi simbol perlawanan terhadap kezaliman di tingkat lokal. Simbol ini lahir bukan dari kekacauan semata, tetapi dari keberanian kolektif rakyat untuk berkata “cukup” terhadap kebijakan yang tidak berkeadilan. Ke depan, keberhasilan perlawanan ini akan diukur dari dua hal: apakah kebijakan yang merugikan rakyat dapat dihentikan, dan apakah pemerintahan daerah mau membuka ruang dialog yang sejati dengan masyarakat.
Pada akhirnya, perlawanan warga Pati adalah pengingat bagi para penguasa di seluruh negeri: KEKUASAAN HANYALAH AMANAH, BUKAN HAK ABSOLUT. Selama rakyat memegang teguh keyakinan suara mereka berharga, tak ada kekuatan yang benar-benar bisa membungkam mereka. Sebab dalam demokrasi yang hidup, rakyat bukan sekadar penonton—mereka adalah pemilik panggung itu sendiri.

Sumber:
Detikcom. (2025a, August 13). Duduk perkara demo warga Pati hingga desak Bupati Sudewo mundur. Detik Jateng. https://www.detik.com/jabar/berita/d-8059024/duduk-perkara-demo-warga-pati-hingga-desak-bupati-sudewo-mundur
Detikcom. (2025b, August 13). Fakta-fakta demo Bupati Pati ricuh: 34 orang terluka, 11 ditangkap. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8059843/fakta-fakta-demo-bupati-pati-ricuh-34-orang-terluka-11-ditangkap
Detikcom. (2025c, August 14). DPRD Pati bentuk pansus usut kebijakan Bupati Sudewo. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8060012/dprd-pati-bentuk-pansus-usut-kebijakan-bupati-sudewo
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Lipset, S. M. (1981). Political man: The social bases of politics. Johns Hopkins University Press.
Tilly, C. (2004). Social movements, 1768–2004. Paradigm Publishers.
Previous Post Next Post

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال