Peristiwa demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 menjadi lebih dari sekadar berita lokal. Ia adalah sinyal keras bagi semua pemegang kekuasaan: LEGITIMASI TIDAK HANYA BERGANTUNG PADA MANDAT FORMAL, MELAINKAN JUGA PADA ETIKA DAN INTEGRITAS YANG MELEKAT PADA SETIAP KEBIJAKAN. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%—yang memicu ribuan warga turun ke jalan—membuka kotak Pandora dari tumpukan keluhan publik terhadap kepemimpinan Bupati Sudewo (Detikcom, 2025a).
Aksi ini tidak berhenti pada penolakan kenaikan pajak. Isu berkembang ke persoalan pendidikan, pemutusan hubungan kerja (PHK) guru honorer, hingga proyek-proyek yang dinilai tidak memiliki urgensi bagi kesejahteraan rakyat. Kekecewaan meluas dan membentuk kesadaran kolektif, kepemimpinan tanpa nilai etika akan mengarah pada keruntuhan legitimasi politik (Tirto.id, 2025a).
Dalam teori etika politik, etika adalah pilar yang menopang keberlanjutan kekuasaan. Dalam hal ini, Max Weber (1946) membedakan antara ethic of conviction (etika keyakinan) dan ethic of responsibility (etika tanggung jawab). Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki niat baik atau visi, tetapi juga harus memastikan kebijakannya selaras dengan kepentingan publik dan tidak menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Kenaikan PBB secara drastis di tengah kondisi ekonomi yang rapuh jelas menunjukkan abainya prinsip tanggung jawab ini.
Permintaan maaf dan pencabutan kebijakan PBB oleh Bupati Sudewo ternyata tidak memulihkan kepercayaan publik. Respons itu dinilai terlambat, bahkan dianggap sebagai reaksi defensif di tengah tekanan, bukan bentuk komitmen untuk memperbaiki pola kepemimpinan (Detikcom, 2025b). Hal ini sejalan dengan pandangan Lipset (1981), legitimasi politik hanya bisa dipertahankan jika pemerintah mampu merespons krisis secara proaktif, bukan reaktif.
Krisis etika ini semakin nyata ketika melihat pola kebijakan lain. Kebijakan lima hari sekolah yang berdampak negatif bagi guru honorer, PHK pegawai RSUD tanpa pesangon, serta proyek-proyek renovasi dan pembongkaran masjid bersejarah yang memicu protes, membentuk narasi bahwa pemerintah daerah lebih fokus pada agenda yang tidak berpihak pada kebutuhan mendesak rakyat (Detikcom, 2025a). Dalam kerangka good governance, situasi ini melanggar prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan responsivitas (UNDP, 1997).
Reaksi DPRD Pati yang membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut kebijakan bupati adalah mekanisme konstitusional yang patut diapresiasi (Detikcom, 2025c). Namun, efektivitas Pansus bergantung pada keberanian dan integritas anggotanya untuk mengungkap fakta dan memberikan rekomendasi yang benar-benar berpihak pada rakyat. Tanpa keberanian moral itu, Pansus berisiko menjadi sekadar formalitas politik.
Kasus Pati mengajarkan kekuasaan tanpa etika ibarat bangunan megah di atas fondasi rapuh. Secara formal, mungkin masih berdiri, tetapi setiap getaran dari bawah—dalam bentuk protes rakyat—dapat merobohkannya kapan saja. Etika di sini bukan sekadar moralitas pribadi, melainkan kesadaran bahwa setiap kebijakan berdampak langsung pada kehidupan orang banyak.
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan, masyarakat yang memiliki kesadaran kritis tidak akan tinggal diam ketika menghadapi penindasan. Rakyat Pati membuktikan hal itu. Dari alun-alun kota hingga jalan-jalan desa, mereka bersuara lantang, mengirim pesan bahwa kekuasaan yang abai terhadap etika akan selalu mendapat perlawanan.
Meski aksi di Pati diwarnai insiden pembakaran mobil polisi dan bentrokan, substansi pesannya tetap jelas: KEPEMIMPINAN YANG MENGABAIKAN SUARA RAKYAT AKAN KEHILANGAN LEGITIMASI. Tantangannya kini adalah bagaimana memastikan gerakan ini tetap disiplin dan fokus pada tujuan, agar tidak memberi celah bagi pihak yang ingin mendeligitimasi perjuangan rakyat dengan menyoroti kekerasan semata.
Kepada para penguasa, pesan dari Pati seharusnya menjadi cermin. KEKUASAAN ADALAH AMANAH, DAN AMANAH HANYA DAPAT DIJAGA DENGAN ETIKA, INTEGRITAS, DAN KOMITMEN MELAYANI RAKYAT. Mengabaikan prinsip ini berarti berjalan di jalur menuju kejatuhan, cepat atau lambat. Kepada rakyat, aksi ini menjadi pengingat bahwa suara publik adalah kekuatan yang mampu mengoreksi arah kebijakan. Selama suara itu dijaga dan digunakan dengan bijak, demokrasi akan tetap hidup, dan tirani tidak akan mendapat tempat.
Pati telah berbicara. Pertanyaannya, apakah pesan ini akan didengar dan diresapi oleh para pemegang kekuasaan di seluruh negeri, atau justru diabaikan sampai sejarah mengulang pelajaran yang sama dengan harga yang lebih mahal?
Sumber:
Detikcom. (2025a, August 13). Duduk perkara demo warga Pati hingga desak Bupati Sudewo mundur. Detik Jateng. https://www.detik.com/jabar/berita/d-8059024/duduk-perkara-demo-warga-pati-hingga-desak-bupati-sudewo-mundur
Detikcom. (2025b, August 13). Bupati Pati cabut kenaikan PBB, minta maaf ke warga. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8059391/bupati-pati-cabut-kenaikan-pbb-minta-maaf-ke-warga
Detikcom. (2025c, August 14). DPRD Pati bentuk pansus usut kebijakan Bupati Sudewo. Detik Jateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-8060012/dprd-pati-bentuk-pansus-usut-kebijakan-bupati-sudewo
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Lipset, S. M. (1981). Political man: The social bases of politics. Johns Hopkins University Press.
UNDP. (1997). Governance for sustainable human development: A UNDP policy document. United Nations Development Programme.
Weber, M. (1946). Politics as a vocation. Fortress Press.
Tags
ESSAY