Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Friday, August 22, 2025

    TINTA DAN DARAH DI GAZA: DUNIA MENUNTUT KEBEBASAN PERS DI TENGAH SERANGAN MILITER

    Konflik Gaza kini tidak hanya tercatat sebagai tragedi kemanusiaan, melainkan juga sebagai babak kelam dalam sejarah kebebasan pers dunia. Data terbaru mengungkapkan, setidaknya 192 jurnalis tewas sejak awal eskalasi militer Israel di Jalur Gaza, menjadikannya periode paling mematikan bagi pewarta sejak 1992. Angka ini menggambarkan bagaimana tinta yang seharusnya menjadi simbol kebenaran kini bercampur dengan darah di medan konflik. Dalam kondisi demikian, dunia internasional menuntut agar prinsip kebebasan pers tetap ditegakkan sebagai salah satu pilar demokrasi dan akuntabilitas global (The Guardian, 2025a).
    Desakan internasional semakin kuat setelah laporan menunjukkan terbatasnya akses media independen ke Gaza. Sebanyak 27 negara, termasuk Inggris, Jerman, dan Australia, menekan Israel untuk membuka pintu bagi wartawan agar dapat melaporkan kondisi di lapangan secara objektif. Mereka menilai bahwa pembatasan terhadap media bukan hanya melanggar prinsip kebebasan informasi, tetapi juga memperburuk penderitaan warga sipil yang kisahnya terancam terkubur tanpa saksi. Amnesty International menambahkan bahwa jurnalis memiliki peran penting sebagai pengawas, yang kehadirannya dapat mengungkap potensi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam setiap serangan militer (The Guardian, 2025b).
    Krisis ini menimbulkan dilema etis yang serius. Di satu sisi, jurnalis diharuskan menjalankan tugas mulianya untuk menyampaikan fakta, namun di sisi lain mereka harus mempertaruhkan nyawa. Situasi ini menunjukkan rapuhnya perlindungan hukum internasional bagi pekerja media di medan konflik. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui laporan Kantor Komisaris Tinggi HAM (OHCHR) menekankan bahwa serangan terhadap jurnalis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional, karena pewarta dianggap sebagai pihak sipil yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa (United Nations, 2025).
    Tragedi yang menimpa jurnalis di Gaza sekaligus membuka mata dunia bahwa perang modern bukan hanya pertempuran senjata, tetapi juga pertempuran narasi. Informasi menjadi senjata strategis yang menentukan opini publik global. Dengan menutup akses pers, pihak yang berkonflik berusaha mengendalikan narasi sekaligus menyembunyikan fakta di balik kabut perang. Oleh karena itu, tuntutan dunia agar kebebasan pers ditegakkan di Gaza bukan sekadar isu jurnalistik, melainkan panggilan moral bagi komunitas internasional untuk melindungi hak atas kebenaran. Gaza saat ini tidak hanya menjadi saksi penderitaan warganya, tetapi juga monumen tragis bagi mereka yang mengorbankan hidup demi menyampaikan kebenaran kepada dunia.

    Referensi:
    The Guardian. (2025a, August 21). Israel keeps up military pressure on Gaza City ahead of planned offensive - as it happened. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/live/2025/aug/21/israel-gaza-city-middle-east-palestinians-latest-live-news-updates
    The Guardian. (2025b, August 21). UK among 27 countries to demand press given immediate access to Gaza. The Guardian. https://www.theguardian.com/media/2025/aug/21/uk-among-26-countries-to-demand-press-given-immediate-access-to-gaza
    United Nations. (2025, August 20). OHCHR report on the protection of journalists in conflict zones. United Nations. https://www.un.org/news/2025/ohchr-report-journalists-conflict