Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Dalam lembaran sejarah keilmuan Islam,
Andalusia bukan hanya dikenal sebagai pusat arsitektur dan seni, tetapi juga
tempat kelahiran intelektual besar yang pemikirannya melintasi zaman dan batas
geografis. Salah satu tokoh agung itu adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa
al-Syathibi (w. 790 H/1388 M), atau akrab disapa sebagai Imam al-Syatibi. Beliau seorang ulama usul fikih yang dikenal luas
sebagai pelopor teori maqāṣid al-syarī‘ah. Dari Granada, Andalusia, ia
melahirkan pemikiran yang mengguncang dunia Islam klasik dan menjadi fondasi
pembaruan hukum Islam modern.
Lahir di jantung peradaban Islam terakhir di
Spanyol, Granada, Imam al-Syathibi tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan
tradisi ilmiah dan keberagaman mazhab. Andalusia kala itu merupakan melting pot
peradaban yang mempertemukan para ulama, filsuf, sufi, dan logikawan. Dalam
atmosfer intelektual semacam ini, al-Syathibi mendapatkan pembinaan ilmiah yang
kokoh dari para guru seperti Abu Abdillah al-Maqari dan Abu al-Qasim ibn
Farkhun, yang menanamkan padanya fondasi kuat dalam ilmu fikih, bahasa, dan
logika (Kamali, 2008).
Di balik kekayaan ilmiah tersebut,
al-Syathibi menyaksikan bagaimana hukum Islam sering kali diterapkan secara
kaku dan kehilangan substansinya. Dari kegelisahan intelektual inilah tumbuh
gagasan besar menghidupkan kembali ruh syariat melalui pendekatan maqashid,
yakni memahami tujuan-tujuan di balik setiap ketentuan hukum Islam.
Karya terbesarnya, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Sharī‘ah adalah kristalisasi dari pemikiran maqashidi yang ia gagas.
Al-Syathibi menegaskan syariat Islam diturunkan bukan untuk membebani,
melainkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Ia merumuskan lima maqashid
dasar yang harus dijaga oleh hukum, mencakup: agama (din), jiwa (nafs), akal ('aql),
keturunan (nasl), dan harta (mal) (Auda, 2008).
Keunikan Imam al-Syatibi dalam membicarakan maqashid dibandingkan para pendahulunya terlihat pada curah pembahasan maqashid secara terbatas. Di tangan al-Syathibi, diskursus maqashid tersebut diformulasi ulang, sehingga menjadi sistem metodologis
dalam berijtihad. Ia meyakini bahwa teks-teks agama tidak bisa dilepaskan dari
konteks sosial dan kemaslahatan umat. Karena itulah, ia meletakkan maqashid sebagai
fundamental interpretasi hukum, bukan sekadar pelengkap.
Menurut Jasser Auda, “Al-Syathibi
memformulasikan maqasid sebagai prinsip utama dalam ijtihad, menjadikannya
kompas moral dan intelektual dalam memahami syariat” (Auda, 2008).
Pendekatan ini menjadi batu loncatan penting dalam upaya modernisasi hukum
Islam.
Di tengah arus dominan taqlid yang membelenggu
pemikiran hukum saat itu, Imam al-Syathibi tampil sebagai sosok pemberani. Ia
mengkritik praktek legalistik yang mengabaikan tujuan dan hikmah hukum. Dalam
karyanya al-I‘tiṣām, ia juga mengecam berbagai bentuk inovasi agama (bid‘ah)
yang tidak berlandaskan maqashid dan nash syar’i yang otentik.
Keberaniannya patut diacungi jempol, utamanya pada ranah mengusik kenyamanan kalangan
status quo. Tidak heran, ia sering mendapat tekanan dan kritik dari sesama ulama di Granada.
Meski demikian, ia tetap teguh. Baginya, ijtihad adalah jalan spiritual sekaligus
intelektual untuk menjaga keaslian dan fungsi Islam dalam masyarakat
yang berubah.
Setelah wafatnya, pemikiran al-Syathibi sempat menghilang dan tenggelam dalam sejarah. Itu disebabkan oleh keruntuhan peradaban Andalusia. Pada abad ke-20, dunia Islam kembali menggali warisan intelektualnya sebagai respons atas stagnasi hukum dan tantangan modernitas. Kini, maqashid diaplikasikan dalam berbagai isu kontemporer, mulai dari ekonomi syariah, kebijakan publik, hingga hak asasi manusia. Apa yang dimulai dari ruang sunyi Granada menjelma menjadi percikan cahaya pembaharuan di berbagai penjuru dunia Islam.
Imam al-Syathibi bukan hanya seorang ahli
fikih, tetapi arsitek maqashid, pemikir visioner, dan penjaga esensi syariah.
Warisannya mengajarkan bahwa syariat bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi
sistem nilai yang meniscayakan keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan. Dari
Andalusia, ia menitipkan hikmah untuk dunia Islam, bahwa ilmu adalah amanah,
dan maqashid adalah nur yang menuntun jalan umat.
Sumber:
Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute
of Islamic Thought.
Kamali, M. H. (2008). Shari'ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.