Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

SPIRIT PEMBARUAN DAN KETEKUNAN ILMIAH IMAM AL-SYATHIBI

Thursday, May 22, 2025 | May 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T06:07:00Z
Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, tidak sedikit nama besar yang menghiasi peradaban. Kendati demikian, hanya segelintir yang mampu menorehkan pengaruh lintas zaman. Di antara mereka, nama Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) mencuat sebagai simbol ketekunan ilmiah dan ruh tajdid (pembaruan) dalam kerangka hukum Islam. Ia bukan sekadar ahli usul fikih, tetapi pelopor maqāṣid al-syarī‘ah yang dengan gagah berani menawarkan paradigma baru di tengah gelombang taqlid dan stagnasi intelektual pada zamannya.

Imam al-Syathibi lahir dan besar di Granada, Andalusia, sebuah wilayah yang kala itu menjadi pusat terakhir kemegahan Islam di Eropa. Granada bukan sekadar kota, tetapi ruang dialektika ilmu yang mempertemukan logika Yunani, fikih Islam, filsafat, dan tasawuf. Di kota ini, al-Syathibi berguru kepada ulama terkemuka seperti Abu Abdillah al-Maqari dan Abu al-Qasim ibn Farkhun. Ia tumbuh sebagai pelajar yang haus ilmu dan cepat menguasai beragam disiplin, mulai dari tafsir, usul fikih, hingga linguistik (Kamali, 2008).

Imam al-Syathibi tak hanya mengandalkan hafalan atau mengikuti jejak para guru secara membabi buta. Ia menolak sikap mental taqlid yang menjadikan hukum Islam kehilangan vitalitasnya. Dari sinilah semangat pembaruan mulai tumbuh dalam dirinya—sebuah semangat yang kelak melahirkan revolusi konseptual dalam dunia hukum Islam.

Salah satu aspek paling menonjol dari sosok al-Syathibi adalah ketekunannya dalam meneliti, menyusun argumen, dan membangun bangunan epistemologi yang kokoh. Karya agungnya, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, bukanlah hasil kerja instan, melainkan buah dari renungan mendalam dan perjuangan ilmiah yang panjang. Dalam karya ini, al-Syathibi mengembangkan teori maqasid syariah—gagasan bahwa setiap hukum Islam memiliki tujuan (maqasid) yang bersifat maslahat bagi umat.

Ia menyusun maqashid dalam tiga lapisan utama: arūriyyāt (primer), ājiyyāt (sekunder), dan tasīniyyāt (komplementer), dengan lima nilai dasar yang harus dilindungi: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Auda, 2008). Dengan pendekatan ini, al-Syathibi menantang para ahli hukum Islam untuk tidak terjebak pada tekstualitas, melainkan menyelami substansi syariah secara lebih mendalam.

Keberanian al-Syathibi tidak berhenti pada pembaruan metode berpikir. Dalam al-I‘tiṣām, ia mengkritik praktik heretisme (bid‘ah) yang berkembang di masyarakat serta mengajak umat Islam untuk kembali pada prinsip maqashid yang menjadi dasar syariat. Ia juga menolak dominasi mazhab yang mengkerdilkan potensi ijtihad dan membatasi kreativitas intelektual.

Langkah-langkah al-Syathibi ini tentu tidak mudah. Ia menghadapi perlawanan, bahkan penolakan dari sebagian kalangan ulama yang menganggap pendekatannya sebagai penyimpangan. Meski begitu, semangatnya tidak pernah surut. Ia membuktikan bahwa keberanian ilmiah—bukan keseragaman—adalah ruh dari kebangkitan pemikiran Islam.

Ketekunan ilmiahnya membuahkan warisan pemikiran yang tidak hanya kuat dalam dalil, tetapi juga luwes dalam aplikasi. Ia mengajarkan bahwa syariah adalah tentang keseimbangan antara wahyu dan akal, antara teks dan konteks, antara hukum dan hikmah.

Imam al-Syathibi bukan hanya seorang ulama, tetapi simbol semangat tajdid dan ketekunan ilmiah dalam dunia Islam klasik. Dari Granada, ia menyemai benih pembaruan yang kini tumbuh di berbagai belahan dunia Islam. Warisannya adalah pengingat abadi bahwa ilmu bukanlah benda mati, melainkan cahaya yang terus bersinar bagi siapa pun yang mencari kebenaran dengan jujur dan tekun.

 

Sumber:

Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2008). Shari'ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->