Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Thursday, May 22, 2025

    IMAM AL-SYATHIBI DAN REVOLUSI MAQASHID AL-SYARI'AH: WARISAN INTELEKTUAL YANG MENGINSPIRASI DUNIA ISLAM KONTEMPORER

    Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

    Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, tidak banyak tokoh yang mampu meninggalkan warisan keilmuan yang melintasi batas ruang dan waktu. Salah satu nama yang terus bersinar, bahkan berabad-abad setelah wafatnya adalah Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M), seorang pemikir besar asal Granada, Andalusia, yang dikenal luas sebagai arsitek utama konsep Maqasid al-Syariah. Lebih dari sekadar ahli usul fikih, al-Syathibi adalah pemikir yang berhasil mengubah cara umat Islam memahami hukum, dari sekadar kepatuhan tekstual menuju pendekatan yang berbasis pada tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan manusia.

    Al-Syathibi hidup pada masa ketika Andalusia berada dalam tekanan politik dan kemunduran kekuasaan Islam. Di tengah kemunduran itulah semangat intelektualnya tumbuh subur. Ia lahir dan besar di Granada, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban dan keilmuan Islam di barat dunia Islam kala itu. Di sana, ia mengenyam pendidikan dari berbagai ulama besar, seperti Abu Abdillah al-Maqari dan Ibn Farkhun. Lingkungan keilmuan yang kosmopolit menjadikan al-Syathibi tidak hanya menguasai ilmu fikih, tetapi juga ilmu kalam, logika, bahasa Arab, dan filsafat. Sejak muda, ia sudah menunjukkan kecenderungan berpikir kritis dan independen, sebuah kualitas langka di tengah dominasi tradisi taqlid pada masanya.

    Karya utamanya, Al-Muwafaqat fi Usul al-Shariah, menjadi tonggak penting dalam perkembangan usul fikih. Buku ini bukan hanya menyusun kaidah-kaidah hukum Islam secara sistematis, tetapi juga menyajikan kerangka filosofis tentang tujuan-tujuan dasar syariat. Al-Syathibi menegaskan syariat Islam diturunkan bukan untuk membebani manusia dengan aturan, melainkan untuk menjaga lima aspek fundamental dalam kehidupan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Meskipun diskursus ini bukanlah hal baru, namun yang menjadikannya menonjol dibanding para pendahulunya, seperti al-Ghazali dan al-Juwayni adalah keberaniannya menempatkan maqashid bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai poros utama hukum Islam. Ia menggeser paradigma hukum, dari hukum sebagai teks yang statis menuju hukum sebagai mekanisme dinamis yang harus memahami realitas sosial dan kebutuhan manusia.

    Bisa dikatakan, pendekatan ini tergolong revolusioner, sekalipun belum sepenuhnya diterima pada zamannya, hingga berabad-abad kemudian. Dalam pemikiran al-Syathibi, antara teks dan konteks tidak dapat dipisahkan; antara nash dan maslahat selalu berdialog. Ia mengajukan metode yang integratif dan rasional, yang memungkinkan hukum Islam menjawab persoalan baru tanpa kehilangan landasan spiritual dan moralnya. Terkait hal ini, Jasser Auda mengatakan, “Syathibi memberikan kita peta jalan yang jelas untuk merekonstruksi hukum Islam berdasarkan prinsip keadilan dan maslahat, bukan hanya berdasarkan literal teks.

    Lebih dari sekadar teori, al-Syathibi juga menunjukkan keberanian intelektual dalam menghadapi arus utama pemikiran yang cenderung beku dan konservatif. Dalam karya lainnya, al-I’tisham, ia menyoroti fenomena bid‘ah dan menjelaskan pentingnya otoritas agama yang bertanggung jawab, bukan dogmatis. Ia menolak praktik-praktik keagamaan yang kehilangan substansi, dan mengingatkan pentingnya menjaga ajaran Islam tetap autentik, namun tidak tertutup dengan perkembangan zaman. Melalui kritiknya terhadap kecenderungan taqlid, al-Syathibi menegaskan pembaruan tidak berarti penyimpangan, melainkan cara untuk menghidupkan kembali semangat Islam yang autentik dan fungsional.

    Salah satu hal yang membuat al-Syathibi tetap relevan hingga kini adalah keberhasilannya dalam membumikan hukum Islam ke dalam konteks kehidupan nyata. Di tengah dinamika global saat ini—dari persoalan etika biomedis, krisis lingkungan, hukum keluarga, hingga sistem keuangan syariah—kerangka maqashid yang ia gagas menjadi sangat kontekstual. Banyak institusi dan pemikir modern, seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Yusuf al-Qaradawi, Muhammad Hashim Kamali, dan Jasser Auda menjadikan maqashid sebagai titik tolak dalam rekonstruksi hukum Islam yang lebih manusiawi dan adaptif. Hal ini membuktikan gagasan al-Syathibi tidak membeku di museum sejarah, tetapi terus hidup sebagai perangkat epistemik dalam menghadapi realitas zaman.

    Imam al-Syathibi bukan sekadar ahli fikih atau akademisi klasik. Ia adalah seorang mujaddid—pembaharu dalam arti yang sebenarnya. Ia membangkitkan kembali semangat berpikir yang berani, jujur, dan etis dalam tradisi Islam. Ia menulis bukan dari ruang sunyi yang terputus dari kehidupan, tetapi dari dalam arus masyarakat yang kompleks dan penuh tantangan. Warisannya adalah ajakan untuk menjadikan ilmu sebagai alat pembebasan, bukan pengekangan. Pemikirannya menunjukkan menjadi muslim yang taat bukan berarti membekukan akal, melainkan menghidupkannya demi kebaikan bersama.

    Hari ini, ketika dunia Islam dihadapkan pada tantangan besar dalam memahami dan menerapkan hukum dengan cara yang relevan, inklusif, dan bermartabat, kita patut kembali menengok pemikiran Imam al-Syathibi. Bukan untuk sekadar mengenangnya sebagai tokoh sejarah, tetapi untuk menyerap keberanian intelektualnya, kejernihan nalar hukumnya, dan komitmennya terhadap kemaslahatan umat. Dalam dunia yang semakin kompleks, pemikir sepertinya adalah lentera yang tidak pernah padam.

    Referensi

    Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

    Kamali, M. H. (2008). Shari'ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.