Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IMAM AL-SYATHIBI: PILAR KEBANGKITAN ILMU MAQASID DALAM TRADISI ISLAM KLASIK

Thursday, May 22, 2025 | May 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T05:39:44Z

Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Dalam arus sejarah pemikiran Islam, tidak banyak ulama yang mampu membangun jembatan antara teks-teks klasik dan realitas kehidupan umat secara harmonis dan filosofis. Salah satu tokoh langka tersebut adalah Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M), sosok intelektual besar dari Granada, Andalusia. Namanya identik dengan kemunculan dan penguatan maqāṣid al-syarī‘ah—kerangka berpikir tentang tujuan-tujuan hukum Islam. Di tengah dominasi taqlid pada masanya, al-Syathibi justru menyalakan obor pembaruan, menjadikan maqashid sebagai pusat gravitasi ilmu fikih.

Imam al-Syathibi lahir dan besar di Granada, pusat intelektual Islam pada akhir kekuasaan Muslim di Andalusia. Kota ini adalah tempat percampuran gagasan dan mazhab, dari ilmu tafsir hingga logika Yunani. Sejak muda, al-Syathibi tidak hanya mencerap ilmu, tetapi juga mengolahnya secara kritis. Ia resah melihat dunia hukum Islam yang terjebak pada bentuk-bentuk kaku dan kehilangan esensinya. Berangkat dari kegelisahan intelektual itu, lahirlah cita-cita besar: membumikan maqashid sebagai inti dari syariat.

Karya magnum opus-nya, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah menjadi tonggak kebangkitan ilmu maqashid. Dalam kitab ini, al-Syathibi menegaskan bahwa setiap hukum Islam memiliki ghayah (tujuan), dan bahwa syariat hadir demi kemaslahatan manusia. Ia mengklasifikasi maqashid dalam tiga tingkat: dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (pelengkap), dengan lima aspek utama yang harus dijaga: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Auda, 2008).

Apa yang membuatnya berbeda dari pendahulunya, seperti al-Ghazali dan al-Juwaini adalah sistematisasi dan konsistensi metodologinya. Al-Syathibi tidak hanya menyebut maqashid sebagai pelengkap dalam hukum, tetapi juga menjadikannya sebagai pondasi epistemologis yang wajib diperhatikan dalam setiap ijtihad.

Jasser Auda mengungkapkan pendekatan sistemik al-Syathibi terhadap maqashid membuatnya layak disebut sebagai arsitek maqashid modern. Ia berhasil menggeser paradigma fikih dari semata-mata legalistik menjadi holistik dan maslahat-oriented (Auda, 2008).

Zaman al-Syathibi bukanlah era yang ramah terhadap ijtihad independen. Sebagian besar ulama merasa cukup dengan mengikuti pendapat mazhab. Namun, al-Syathibi tampil berbeda. Ia mengkritik taqlid buta dan menghidupkan kembali semangat berijtihad berlandaskan pada maqashid, bukan semata-mata pada lafaz literal. Dalam al-I‘tiṣām, ia menulis dengan lantang, bahwa inovasi dalam agama yang tidak berpijak pada maqashid dapat membawa umat pada penyimpangan.

Sikap kritis ini membuatnya tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Ia sempat menghadapi resistensi keras dari kalangan konservatif. Meski begitu, ia tak gentar. Baginya, ilmu bukanlah komoditas sosial, melainkan amanah ilahiyah yang harus dijalankan dengan integritas dan keberanian intelektual.

Hingga hari ini, warisan intelektual al-Syathibi terus menggema. Pemikirannya menjadi referensi utama dalam rekonstruksi hukum Islam modern. Konsep maqashid yang ia bangun diaplikasikan dalam berbagai bidang: dari hukum keluarga, hak asasi manusia, ekonomi syariah, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT) dan ulama-ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Tariq Ramadan menjadikan maqashid sebagai dasar reformasi syariah.

Pemikiran al-Syathibi telah membebaskan fiqh dari belenggu literalitas menuju keluasan visi maqashid yang menjawab kebutuhan zaman. Ia bukan hanya seorang fuqaha, tetapi pelita pemikiran Islam klasik yang menyala hingga kini. Imam al-Syathibi juga bisa dikatakan sebagai pilar kokoh dalam kebangkitan maqashid dalam khazanah keilmuan Islam. Dalam era ketika umat muslim membutuhkan pendekatan hukum yang solutif, berwawasan maslahat, dan berpihak pada manusia, spirit intelektual al-Syathibi menjadi lentera penunjuk jalan. Melalui karyanya, ia membuktikan bahwa syariat bukanlah sekadar aturan, melainkan sistem nilai yang menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.

 

Sumber:

Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->