Pilih Label
Geser ke samping untuk lihat semua

    Saturday, August 23, 2025

    IMAM AL-SYATHIBI DAN KEBANGKITAN MAQASID SYARIAH: WARISAN PEMIKIRAN ISLAM YANG MENGUBAH ARAH FIKIH DUNIA

    Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

    Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, nama Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) selalu muncul sebagai salah satu poros utama kebangkitan intelektual yang melampaui zamannya. Di tengah stagnasi pemikiran hukum dan dominasi pola pikir formalistik, al-Syathibi tampil sebagai pembaharu berani yang tidak sekadar merumuskan ulang paradigma hukum Islam, tetapi juga menyalakan kembali semangat berpikir kritis yang telah lama terpinggirkan. Kontribusinya pada penguatan dan pembumian maqāṣid al-syarī‘ah—kerangka konseptual tentang tujuan-tujuan utama syariat—menjadikan namanya sinonim dengan reformis hukum Islam yang bernilai etis, rasional, dan manusiawi.

    Lahir dan tumbuh di kota Granada, Andalusia, al-Syathibi menyerap atmosfer intelektual yang kosmopolit dan terbuka. Granada pada abad ke-8 Hijriyah bukan hanya benteng terakhir kekuasaan Islam di Spanyol, tetapi juga arena tempat ilmu pengetahuan, mazhab, dan gagasan besar bertemu. Di lingkungan inilah al-Syathibi membentuk kapasitas keilmuannya. Sejak usia muda, ia tidak hanya mempelajari teks, tetapi juga menggugatnya. Ia menyadari, hukum Islam telah terlalu lama dikunci dalam ruang sempit teks dan metode yang kaku, sehingga kehilangan semangat dasarnya: MELAYANI KEMASLAHATAN MANUSIA.

    Keresahan itulah yang membawanya pada upaya besar: menjadikan maqashid bukan sekadar ornamen dalam diskursus fikih, tetapi sebagai jantung yang menghidupi keseluruhan struktur hukum Islam. Gagasan ini ia tuangkan dalam karya agungnya, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah. Dalam kitab ini, al-Syathibi menyatakan dengan terang, setiap hukum dalam Islam memiliki tujuan, dan tujuan itu adalah kemaslahatan. Ia mengklasifikasikan maqashid ke dalam tiga tingkatan: dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (pelengkap), dengan lima nilai dasar yang harus dijaga oleh syariat: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

    Imam al-Syathibi tidak berhenti pada tataran konsep. Ia membangun sistem metodologis yang konsisten dan terstruktur, menjadikan maqashid sebagai landasan epistemologis bagi aktivitas ijtihad. Inilah yang membedakannya dari pemikir-pemikir sebelumnya seperti al-Ghazali dan al-Juwaini. Keduanya memang membahas maqashid, tetapi belum menjadikannya sebagai fondasi utama dalam penalaran hukum. Di tangan Al-Syathibi, ia menawarkan maqashid lebih dari sekadar teori. Ia membangun jalan metodis untuk reformasi cara berpikir umat terhadap syariat.

    Pemikir kontemporer seperti Jasser Auda bahkan menyebutnya sebagai arsitek maqashid dalam pengertian modern. Auda menekankan, pendekatan sistemik al-Syathibi telah berhasil menggeser paradigma fikih dari sekadar patuh pada bunyi teks menuju cara pandang yang holistik, dinamis, dan maslahat-oriented. Bagi al-Syathibi, hukum yang hanya terpaku pada literalitas tanpa memahami konteks sosial dan moral di mana ia bekerja berpotensi kehilangan ruh dan fungsinya.

    Pandangan ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Pada masanya, dunia intelektual Islam telah lama tenggelam dalam budaya taqlid yang nyaris menutup ruang ijtihad mandiri. Ulama yang menyimpang dari pakem mazhab kerap dianggap mencurigakan atau bahkan menyimpang. Dalam atmosfer seperti inilah al-Syathibi tampil dengan keberanian intelektual yang luar biasa. Dalam karya lainnya, al-I‘tiṣām, ia mengecam keras praktik keagamaan yang tidak berpijak pada maqashid. Ia menyebut inovasi (bid'ah) yang tidak berakar pada tujuan syariat justru dapat menyesatkan umat. Melalui pendekatan ini, al-Syathibi mengajak umat untuk membedakan antara bentuk luar ajaran dan nilai substansial yang dikandungnya.

    Sikap kritis ini membuatnya menghadapi resistensi, bahkan penolakan. Beberapa kalangan menuduhnya terlalu liberal atau keluar dari pakem tradisional. Tetapi al-Syathibi tidak goyah. Baginya, ilmu bukan sarana mencari legitimasi sosial, melainkan tanggung jawab moral. Ia menulis dan berpikir dengan satu tujuan, mengembalikan syariat Islam kepada hakikatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.

    Warisan intelektual al-Syathibi kini semakin relevan. Ketika umat Islam menghadapi tantangan baru—dari perundang-undangan keluarga modern, etika medis, hingga keuangan syariah global—kerangka maqashid yang ia bangun menjadi alat navigasi yang kokoh dan fleksibel. Lembaga-lembaga seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), dan para tokoh pembaru seperti Yusuf al-Qaradawi dan Tariq Ramadan menjadikan maqashid sebagai prinsip utama dalam upaya rekonstruksi hukum Islam kontemporer. Dalam ranah akademik dan praktis, pemikiran al-Syathibi terus menjadi sumber inspirasi dan rujukan.

    Yang menjadikan al-Syathibi begitu berharga bukan hanya karena ia menyusun teori yang cemerlang, tetapi karena ia berani berdiri melawan arus demi memelihara nurani hukum Islam. Ia bukan hanya seorang fuqaha; ia adalah sosok yang memperjuangkan hukum sebagai ekspresi nilai, bukan sekadar kumpulan peraturan. Ia percaya, syariat bukanlah beban, melainkan pelindung martabat manusia. Di tengah dunia yang makin kompleks, pemikiran al-Syathibi adalah cahaya yang menuntun umat untuk tidak terjebak pada bentuk, tetapi mencari makna.

    Pemikiran al-Syathibi telah membuka jalan bagi kelahiran fikih yang berwawasan etis dan progresif. Ia berhasil menegaskan kesalehan bukan hanya soal ketaatan pada teks, tetapi juga soal keberpihakan pada keadilan dan kemaslahatan. Dalam konteks kekinian, ketika umat membutuhkan paradigma hukum yang adaptif, visioner, dan membumi, semangat intelektual al-Syathibi adalah warisan yang patut dirawat, dikembangkan, dan dihidupkan kembali.

    Referensi

    Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

    Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.