Selama berabad-abad, hukum Islam dipahami melalui pendekatan normatif-tekstual: apa yang dikatakan oleh nash (teks), itulah hukum. Di tengah kuatnya dominasi tekstualisme itu, Imam Abū Isḥāq al-Syāṭibī tampil membawa cara pandang baru. Ia menggeser fokus dari teks ke tujuan, dari hukum ke hikmah, dari formalitas ke substansi. Melalui gagasan maqāṣid al-sharī‘ah, al-Syāṭibī meletakkan fondasi baru yang tidak hanya membumikan syariat dalam realitas, tetapi juga menghidupkannya dengan nilai dan visi.
Dalam karya besarnya al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, al-Syāṭibī menjelaskan seluruh ketentuan dalam Islam pada dasarnya bertujuan untuk menjaga lima hal mendasar: agama (dīn), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (māl). Kelima hal ini disebut al-ḍarūriyyāt al-khams, dan menjadi standar etika dalam menentukan keabsahan suatu hukum (Azis et al., 2024).
Al-Syāṭibī tidak menolak nash. Ia justru memperluas pemahamannya: nash harus dimaknai dalam konteks, dengan mempertimbangkan maslahat manusia. Jika suatu teks diterapkan secara kaku, namun menimbulkan bahaya atau kerusakan, maka penerapan itu perlu dievaluasi melalui lensa maqāṣid (Ikhlas et al., 2021).
Al-Syāṭibī menghidupkan kembali peran akal dalam ijtihād. Dalam pandangannya, akal bukan sekadar alat logika, tapi instrumen moral untuk menggali hikmah syariat. Ia menyebut syariat dibuat “li mashālih al-‘ibād” (demi kemaslahatan hamba), dan karena itu hukum harus selalu dinilai melalui prinsip maslahat (Muchlis & Rois, 2024).
Melalui pendekatan ijtihād maqāṣidī, al-Syāṭibī mendorong ulama agar tidak berhenti pada literalitas teks. Hukum harus dibaca dalam cahaya tujuannya. Jika nash menyebut satu bentuk ibadah atau larangan, maka tugas mujtahid adalah menelusuri hikmah di balik perintah itu, agar hukum Islam tetap adaptif di berbagai zaman dan tempat (Khaliq & Pangestu, 2025).
Warisan al-Syāṭibī terbukti sangat relevan dalam menjawab kompleksitas dunia modern. Dalam isu-isu seperti vaksinasi, ekonomi digital, perubahan iklim, dan HAM, pendekatan maqāṣid memberi ruang ijtihad yang solutif. Sebagai contoh, legalitas fintech syariah bisa ditinjau dari aspek ḥifẓ al-māl (perlindungan harta) dan ḥājiyyāt (kebutuhan sekunder), bukan hanya dari absennya praktik riba secara eksplisit (Apriliani & Virgiawan, 2025).
Imam al-Syāṭibī bukan sekadar pembaharu usul fikih; ia adalah arsitek cara berpikir hukum Islam yang hidup. Dengan memindahkan titik berat dari teks ke tujuan, ia menuntun umat Islam keluar dari jebakan formalisme dan menuju horizon nilai-nilai etis yang visioner. Gagasan maqāṣid bukan hanya aktual di masa lalu, tapi semakin mendesak untuk dihidupkan di masa kini.
Warisan intelektual al-Syāṭibī tidak hanya menggugah para mujtahid, tetapi juga para pendidik, pembuat kebijakan, dan kaum intelektual muslim. Ia membuka mata kita bahwa syariat adalah jalan menuju maslahat, bukan semata-mata kumpulan larangan dan perintah. Dalam semangat itu, dari teks ke tujuan, Islam menemukan denyut kemanusiaannya.
Sumber:
Apriliani, R. H., & Virgiawan, S. P. (2025). Analisis Maqashid Al-Syari'ah dalam Pemikiran Islam Imam Al-Syatibi. Retrieved from https://jurnal.stikes-ibnusina.ac.id/index.php/JUREKSI/article/view/2626
Azis, M. I., Eril, E., BN, A. M. T., & Salam, A. (2024). Maqāṣid al-Sharī‘ah Theory by Imam al-Syāṭibī. Retrieved from http://altinriset.com/journal/index.php/anayasa/article/view/191
Ikhlas, A., Yusdian, D., & Alfurqan, A. (2021). The Concept of Maqasid al-Shariah as an Instruments of Ijtihad According to Imam al-Shatibi. Retrieved from https://www.academia.edu/download/99171084/10138-32653-3-PB.pdf
Khaliq, M. N., & Pangestu, A. (2025). Teori Maqasid Syari'ah Klasik (Asy-Syatibi). Retrieved from http://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_Risalah/article/view/1330
Muchlis, M., & Rois, C. (2024). Urgensi Teori Maqashid al-Syariah Sebagai Metodologi Hukum Islam. Retrieved from https://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/ulumuna/article/view/7558