Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi
Dalam dinamika pemikiran hukum Islam, Imam Abū Isḥāq al-Syāṭibī dikenal sebagai pionir yang menggeser paradigma lama, dari formalisme hukum menuju pendekatan substantif yang berlandaskan maqāṣid al-sharī‘ah. Karya utamanya, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, tidak hanya memperkaya diskursus usul fikih, tetapi juga membentuk cara berpikir hukum Islam yang adaptif dan progresif.
Al-Syāṭibī mendefinisikan maqāṣid sebagai tujuan-tujuan luhur dari syariat yang ditetapkan Allah demi tercapainya maslahah (kemaslahatan) umat manusia. Al-Syāṭibī menegaskan hukum Islam tidak boleh dipisahkan dari ruh tujuannya. Jika penerapan hukum menimbulkan kemudaratan atau bertentangan dengan maslahat, maka penerapan itu perlu dikaji ulang secara mendalam (Ikhlas et al., 2021). Dengan begitu, maqāṣid menjadi kunci pemahaman syariat yang tidak hanya legalistik, tetapi juga etis dan humanistik.
Di tengah tantangan global seperti krisis lingkungan, ketimpangan sosial, dan disrupsi digital, pendekatan maqāṣid justru menemukan relevansinya. Dengan pendekatan ini, hukum Islam tidak terjebak dalam bentuk normatif yang kaku, melainkan bergerak dinamis mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Inilah kekuatan metodologis dari maqāṣid. Ia memberi fleksibilitas, tanpa kehilangan prinsip (Muchlis & Rois, 2024).
Kini, banyak lembaga fatwa dan akademisi mengintegrasikan maqāṣid sebagai instrumen utama dalam ijtihad kontemporer. Dewan Syariah Nasional MUI menjadikan maqāṣid sebagai kerangka dalam menentukan keabsahan praktik ekonomi modern, seperti e-wallet, crowdfunding syariah, dan digitalisasi zakat. Lebih luas lagi, maqāṣid digunakan dalam legislasi kebijakan publik berbasis Islam, terutama dalam konteks negara-negara dengan sistem hukum campuran. Pemikiran al-Syāṭibī memberi kontribusi dalam membangun perundang-undangan yang syar‘i sekaligus responsif terhadap realitas (Khaliq & Pangestu, 2025).
Warisan al-Syāṭibī tidak cukup hanya dijadikan bahan studi teoritik di ruang akademik. Yang lebih penting adalah bagaimana umat Islam, khususnya para pembuat kebijakan, ulama, dan intelektual, LALU menerjemahkannya dalam kebijakan dan praktik sosial. Maqāṣid tidak boleh berhenti pada diskursus, tapi harus menjadi panduan aksi kolektif umat Islam dalam mewujudkan keadilan, keberdayaan, dan kesejahteraan sosial.
Dengan maqāṣid, syariat tidak lagi dipahami sebagai beban hukum yang mengikat secara formalistik, tetapi sebagai jalan spiritual dan sosial untuk mewujudkan peradaban Islam yang ramah, adil, dan solutif.
Symber:
Apriliani, R. H., & Virgiawan, S. P. (2025). Analisis Maqashid Al-Syari'ah dalam Pemikiran Islam Imam Al-Syatibi. Retrieved from https://jurnal.stikes-ibnusina.ac.id/index.php/JUREKSI/article/view/2626
Azis, M. I., Eril, E., BN, A. M. T., & Salam, A. (2024). Maqāṣid al-Sharī‘ah Theory by Imam al-Syāṭibī. Retrieved from http://altinriset.com/journal/index.php/anayasa/article/view/191
Ikhlas, A., Yusdian, D., & Alfurqan, A. (2021). The Concept of Maqasid al-Shariah as an Instruments of Ijtihad According to Imam al-Shatibi. Retrieved from https://www.academia.edu/download/99171084/10138-32653-3-PB.pdf
Khaliq, M. N., & Pangestu, A. (2025). Teori Maqasid Syari'ah Klasik (Asy-Syatibi). Retrieved from http://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_Risalah/article/view/1330
Muchlis, M., & Rois, C. (2024). Urgensi Teori Maqashid al-Syariah Sebagai Metodologi Hukum Islam. Retrieved from https://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/ulumuna/article/view/7558