Kemunduran umat Islam
dewasa ini bukanlah semata-mata soal politik, ekonomi, atau bahkan teknologi.
Akar permasalahannya jauh lebih dalam, menyangkut cara umat memahami agama dan
bagaimana agama itu diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Ketika Islam lebih
dilihat sebagai seperangkat hukum yang membelenggu ketimbang sebagai etika yang
membebaskan, maka di situlah krisis dimulai. Imam al-Syatibi, tokoh besar usul
fikih dari Andalusia abad ke-14, mewariskan kepada kita satu warisan monumental
yang justru kini terasa sangat relevan: konsep maqashid al-syari’ah, atau juga bisa dikenal tujuan-tujuan utama syari’at.
Maqashid al-syari’ah,
dalam pandangan al-Syatibi, bukanlah sekadar tambahan dalam metodologi hukum
Islam. Ia adalah jantungnya. Menurut al-Syatibi, syari’at datang untuk
memelihara lima hal esensial: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
(al-daruriyyat al-khams). Lima hal ini adalah fondasi peradaban, yang tanpa
penjagaannya, hukum akan kehilangan makna substansialnya (al-Syatibi, 2000). Itulah sebabnya, revitalisasi maqashid bukan hanya perkara akademik, tetapi juga soal menyelamatkan
peradaban Islam dari keterperukan dan stagnasi.
Umat Islam hari ini
banyak terjebak dalam formalisme keagamaan. Kita terlalu sibuk mendebat panjang
tentang tata cara ibadah dan persoalan-persoalan cabang, tetapi kehilangan arah
dalam mengembangkan keadilan sosial, kesejahteraan, dan ilmu pengetahuan. Di
banyak tempat, fatwa-fatwa yang terbit tidak lagi menjawab tantangan zaman,
melainkan justru mempersempit ruang gerak umat. Dalam konteks ini, pemikiran
al-Syatibi penting untuk dibangkitkan kembali agar syari’ah tidak menjadi
beban, melainkan solusi (Auda, 2008).
Al-Syatibi menekankan
pentingnya melihat konteks sosial dan maslahat umum sebelum menetapkan hukum.
Ia menolak pendekatan literal terhadap teks-teks suci yang mengabaikan tujuan
syari’ah itu sendiri. Oleh karena itu, hukum Islam tidak boleh statis. Ia harus
dinamis, lentur, dan menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan substansi
etisnya (Hallaq, 1997).
Dengan pendekatan
maqashid, kita bisa melakukan reorientasi besar-besaran terhadap praktik
keagamaan yang kerap kali justru menjauhkan umat dari nilai-nilai kemanusiaan
universal. Maqashid memberi kita alat untuk menilai ulang hukum-hukum yang
membatasi perempuan, membungkam ekspresi intelektual, atau melegitimasi
kekerasan atas nama agama. Dalam paradigma ini, agama adalah kekuatan
emansipatoris, bukan alat kontrol sosial yang menindas (Kamali, 2006).
Para
pemikir kontemporer, seperti Jasser Auda, Yusuf al-Qaradawi, dan Mohammad Hashim
Kamali telah memperluas cakrawala maqashid ke dalam bidang-bidang modern
seperti HAM, tata kelola pemerintahan, ekonomi Islam, dan ekologi. Semua itu
membuktikan maqashid bukanlah doktrin mati, tetapi sebuah metodologi hidup
yang mampu menavigasi tantangan globalisasi dan modernitas (Auda, 2008; Kamali,
2011; Abu Zayd, 2006).
Revitalisasi maqashid
berarti mengembalikan semangat agama sebagai rahmat bagi semesta. Ia mengajak
kita meninggalkan kejumudan yang menjadikan agama sekadar formalitas kosong.
Melalui pendekatan maqashid, umat Islam dapat keluar dari inferioritas intelektual
yang selama ini menjerat dan mulai mengembangkan tradisi ijtihad yang solutif
dan partisipatif.
Namun, langkah ini
membutuhkan keberanian kolektif umat Islam: keberanian untuk berpikir ulang,
menafsir ulang, dan bergerak maju. Kita butuh institusi pendidikan yang
mendorong kebebasan berpikir, otoritas agama yang berani menimbang maslahat,
serta masyarakat yang haus akan makna, bukan sekadar hukum. Dengan membumikan
kembali warisan al-Syatibi, kita tidak hanya memperbarui syari’at dalam arti
formal, tapi juga dalam ruh dan jiwa.
Inilah saatnya umat
Islam tidak hanya membaca al-Syatibi sebagai sejarah, tapi menghidupkannya
sebagai masa depan.
Sumber:
Abu Zayd, N. H.
(2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis.
Amsterdam University Press.
al-Syatibi, I. (2000).
al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Auda, J. (2008).
Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London:
International Institute of Islamic Thought.
Hallaq, W. B. (1997).
A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh.
Cambridge University Press.
Kamali, M. H. (2006).
Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of
Islamic Thought.
Kamali, M. H. (2011).
The Middle Path of Moderation in Islam: The Qurʼanic Principle of Wasatiyyah. Oxford University Press.
Qaradawi, Y. (1999). Fi Fiqh al-Awlawiyyat: Dirasah Jadidah fi Daw’ al-Qur’an wa al-Sunnah. Cairo: Maktabah Wahbah.