Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

REVITALISASI MAQASHID AL-SYARI’AH: MENJAWAB KEMUNDURAN UMAT LEWAT WARISAN AL-SYATIBI

Friday, May 23, 2025 | May 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T13:14:43Z

 Penulis: Friedrich Z. Al-Farizi

Kemunduran umat Islam dewasa ini bukanlah semata-mata soal politik, ekonomi, atau bahkan teknologi. Akar permasalahannya jauh lebih dalam, menyangkut cara umat memahami agama dan bagaimana agama itu diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Ketika Islam lebih dilihat sebagai seperangkat hukum yang membelenggu ketimbang sebagai etika yang membebaskan, maka di situlah krisis dimulai. Imam al-Syatibi, tokoh besar usul fikih dari Andalusia abad ke-14, mewariskan kepada kita satu warisan monumental yang justru kini terasa sangat relevan: konsep maqashid al-syari’ah, atau juga bisa dikenal tujuan-tujuan utama syari’at.

Maqashid al-syari’ah, dalam pandangan al-Syatibi, bukanlah sekadar tambahan dalam metodologi hukum Islam. Ia adalah jantungnya. Menurut al-Syatibi, syari’at datang untuk memelihara lima hal esensial: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-daruriyyat al-khams). Lima hal ini adalah fondasi peradaban, yang tanpa penjagaannya, hukum akan kehilangan makna substansialnya (al-Syatibi, 2000). Itulah sebabnya, revitalisasi maqashid bukan hanya perkara akademik, tetapi juga soal menyelamatkan peradaban Islam dari keterperukan dan stagnasi.

Umat Islam hari ini banyak terjebak dalam formalisme keagamaan. Kita terlalu sibuk mendebat panjang tentang tata cara ibadah dan persoalan-persoalan cabang, tetapi kehilangan arah dalam mengembangkan keadilan sosial, kesejahteraan, dan ilmu pengetahuan. Di banyak tempat, fatwa-fatwa yang terbit tidak lagi menjawab tantangan zaman, melainkan justru mempersempit ruang gerak umat. Dalam konteks ini, pemikiran al-Syatibi penting untuk dibangkitkan kembali agar syari’ah tidak menjadi beban, melainkan solusi (Auda, 2008).

Al-Syatibi menekankan pentingnya melihat konteks sosial dan maslahat umum sebelum menetapkan hukum. Ia menolak pendekatan literal terhadap teks-teks suci yang mengabaikan tujuan syari’ah itu sendiri. Oleh karena itu, hukum Islam tidak boleh statis. Ia harus dinamis, lentur, dan menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan substansi etisnya (Hallaq, 1997).

Dengan pendekatan maqashid, kita bisa melakukan reorientasi besar-besaran terhadap praktik keagamaan yang kerap kali justru menjauhkan umat dari nilai-nilai kemanusiaan universal. Maqashid memberi kita alat untuk menilai ulang hukum-hukum yang membatasi perempuan, membungkam ekspresi intelektual, atau melegitimasi kekerasan atas nama agama. Dalam paradigma ini, agama adalah kekuatan emansipatoris, bukan alat kontrol sosial yang menindas (Kamali, 2006).

Para pemikir kontemporer, seperti Jasser Auda, Yusuf al-Qaradawi, dan Mohammad Hashim Kamali telah memperluas cakrawala maqashid ke dalam bidang-bidang modern seperti HAM, tata kelola pemerintahan, ekonomi Islam, dan ekologi. Semua itu membuktikan maqashid bukanlah doktrin mati, tetapi sebuah metodologi hidup yang mampu menavigasi tantangan globalisasi dan modernitas (Auda, 2008; Kamali, 2011; Abu Zayd, 2006).

Revitalisasi maqashid berarti mengembalikan semangat agama sebagai rahmat bagi semesta. Ia mengajak kita meninggalkan kejumudan yang menjadikan agama sekadar formalitas kosong. Melalui pendekatan maqashid, umat Islam dapat keluar dari inferioritas intelektual yang selama ini menjerat dan mulai mengembangkan tradisi ijtihad yang solutif dan partisipatif.

Namun, langkah ini membutuhkan keberanian kolektif umat Islam: keberanian untuk berpikir ulang, menafsir ulang, dan bergerak maju. Kita butuh institusi pendidikan yang mendorong kebebasan berpikir, otoritas agama yang berani menimbang maslahat, serta masyarakat yang haus akan makna, bukan sekadar hukum. Dengan membumikan kembali warisan al-Syatibi, kita tidak hanya memperbarui syari’at dalam arti formal, tapi juga dalam ruh dan jiwa.

Inilah saatnya umat Islam tidak hanya membaca al-Syatibi sebagai sejarah, tapi menghidupkannya sebagai masa depan.

 

Sumber:

Abu Zayd, N. H. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam University Press.

al-Syatibi, I. (2000). al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 1–2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge University Press.

Kamali, M. H. (2006). Maqasid al-Shariah Made Simple. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.

Kamali, M. H. (2011). The Middle Path of Moderation in Islam: The Qurʼanic Principle of Wasatiyyah. Oxford University Press.

Qaradawi, Y. (1999). Fi Fiqh al-Awlawiyyat: Dirasah Jadidah fi Daw’ al-Qur’an wa al-Sunnah. Cairo: Maktabah Wahbah.

×
Berita Terbaru Update
WhatsApp Instagram
-->